LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BANDUNG

 

LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER

DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BANDUNG

BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang dimaksud dengan kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Untuk  mewujudkan  keadaan  tersebut, diperlukan suatu upaya kesehatan yang diharapkan mampu mendukung dalam pembangunan dan pembinaan sumber daya manusia Indonesia sebagai modal bagi pelaksanaan pembangunan nasional yang pada hakekatnya adalah pembangunan manusia Indonesia yang seutuhnya dan pembangunan seluruh manusia Indonesia.

Pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan, baik peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) maupun pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Upaya pelayanan kesehatan yang bersifat menyeluruh dan terpadu dalam rangka mencapai pembangunan kesehatan dapat di lakukan melalui sarana pelayanan kesehatan, salah satunya adalah rumah sakit.

Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.  Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 58 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit yang dimaksud dengan Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Pelayanan farmasi rumah sakit merupakan salah satu kegiatan di rumah sakit yang menunjang pelayanan kesehatan yang bermutu bagi pasien. Berdasarkan Permenkes No.72 Tahun 2016, Pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari system pelayanan kesehatan rumah sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan sediaan farmasi, alat kesehatan, Dan bahan medis habis pakai yang bermutu dan terjangkau bagia semua lapisan masyarakat termasuk pelayanan farmasi klinik (Kemenkes RI, 2016).

Instalasi farmasi dipimpin oleh seorang Apoteker sebagai penanggung jawab. Apoteker dituntut untuk merealisasikan perluasan paradigma Pelayanan Kefarmasian dari orientasi produk (product oriented) menjadi orientasi pasien (patient oriented). Untuk itu kompetensi Apoteker perlu ditingkatkan secara terus menerus agar perubahan paradigma tersebut dapat diimplementasikan. Dalam upaya meningkatkan kompetensi apoteker dalam menjalankan peran dan fungsi apoteker di rumah sakit serta dalam bekerja sama dengan profesi kesehatan lainnya, maka Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Jenderal Achmad Yani bekerja sama dengan Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bandung menyelenggarakan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) bagi para calon apoteker. Keberhasilan program PKPA ini tidak hanya tergantung pada penguasaan teoritis tetapi juga pada aplikasi ilmu farmasi yang telah diperoleh yang akan berwujud sebagai kompetensi klinis dan manajerial seorang apoteker.

Program PKPA ini diharapkan mampu memberikan pengenalan pekerjaan kefarmasian di rumah sakit. Mahasiswa sebagai calon Apoteker diharapkan dapat menerapkan teori yang pernah didapatkan selama duduk dibangku perkuliahan untuk diimplementasikan kedalam dunia kerja, sehingga diharapkan dengan adanya program PKPA ini mampu membentuk Apoteker yang berkompenten untuk bekerja di rumah sakit.

1.2  Tujuan Praktik Kerja Profesi Apoteker

Tujuan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di rumah sakit bagi mahasiswa tingkat profesi apoteker adalah :

1.        Meningkatkan pemahaman calon apoteker tentang peran, fungsi, posisi dan tanggung jawab apoteker dalam pelayaan kefarmasian di rumah sakit.

2.        Membekali calon apoteker agar memiliki wawasan, pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman praktis untuk melakukan pekerjaan kefarmasian di rumah sakit.

3.        Memberi kesempatan kepada calon apoteker untuk melihat dan mempelajari startegi dan kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam rangka pengembangan praktif farmasi komunitas di rumah sakit.

4.        Mempersiapkan calon apoteker dalam memasuki dunia kerja sebagai tenaga farmasi yang professional.

5.         Memberi gambaran nyata tentang permasalahan pekerjaan kefarmasian di rumah sakit.

1.3         Pelaksanaan Praktik Kerja Profesi Apoteker

Kegiatan PKPA dilaksanakan selama 1 bulan, mulai tanggal 1 Agustus sampai dengan 31 Agustus 2019 bertempat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Bandung yang berlokasi di Jalan Rumah Sakit Nomor 22, Ujungberung, Kota Bandung.

 


 

BAB II

TINJAUAN RUMAH SAKIT UMUM DAERAH

 KOTA BANDUNG

2.1.       Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bandung

2.1.1.      Jenis dan Klasifikasi RSUD Kota Bandung

RSUD Kota Bandung berdasarkan KARS-SERT/499/V/2019 tentang Penetapan status akreditasi Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bandung sebagai Rumah Sakit Tingkat Utama Kelas B.

2.1.2.      Struktur Organisasi RSUD Kota Bandung

Struktur organisasi di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bandung terdiri dari: Direktur, Komite Medik, SPI, SMF, Bagian Umum dan Keuangan, Bidang Pelayanan Medis dan Keperawatan, Bidang Penunjang Medis, Bidang Program dan Pemasaran. Pada masing-masing jabatan tersebut, terdapat pembagian yang lebih terperinci, tertera pada Lampiran 1, Gambar I.1.

2.1.3.      Akreditasi RSUD Kota Bandung

Rumah Sakit Umum Daerah Kota bandung pada tahun 2019 terakreditasi dengan Lulus Tingkat Utama (bintang empat) berdasarkan Sertifikat Akreditasi Rumah Sakit) Nomor KARS-SERT/499/V/2019.

2.1.4.      Tim Farmasi dan Terapi

Tim Farmasi dan Terapi (TFT) Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bandung dipimpin oleh seorang dokter, sekretaris adalah seorang apoteker, beranggotakan apoteker dan dokter dari tiap departemen serta perawat. Tim Farmasi dan Terapi (TFT) dibentuk untuk meningkatkan mutu pelayanan RSUD Kota Bandung melalui standarisasi/penggunaan obat yang efektif, aman dan rasional.

2.2.       Instalasi Farmasi RSUD Kota Bandung

2.2.1.      Tugas dan Fungsi

Instalasi Farmasi RSUD Kota Bandung bertugas sebagai pengelolaan dan pelayanan. Bagian pengelolaan mempunyai fungsi mengelola semua perbekalan farmasi yang ada di RSUD Kota Bandung, sedangkan bagian pelayanan mempunyai fungsi utama melakukan pelayanan kefarmasian kepada masyarakat.

2.2.2.      Struktur Organisasi Instalasi Farmasi RSUD Kota Bandung

Dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan farmasi pada RSUD Kota Bandung dipandang perlu menetapkan Struktur Organisasi dan Tata Kerja Instalasi Farmasi. Komponen yang terdapat dalam struktur organisasi dan tata kerja Instalasi Farmasi pada RSUD Kota Bandungt terdiri atas: Kepala Instalasi Farmasi, Administrasi,  Kepala Unit Pengelolaan Perbekalan Farmasi, Kepala Unit Pelayanan Farmasi dan Farmasi Klinik dan Manajemen Mutu. Pada masing-masing jabatan tersebut, terdapat pembagian yang lebih terperinci, tertera pada Lampiran 2, Gambar II.1. 

 

2.2.3.      Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia berupa tenaga kefarmasian di Instalasi Farmasi RSUD Kota Bandung terdiri dari 10 orang apoteker dan 32 orang tenaga teknis kefarmasian.

2.2.4.      Sarana dan Prasarana

Fasilitas yang terdapat di instalasi farmasi RSUD Kota Bandung yaitu ruang tunggu yang dilengkapi dengan kursi, ruang pelayanan dan penyerahan resep atau obat, ruang peracikan dan tempat penyimpanan obat, ruang kerja khusus untuk kepala instalasi farmasi, ruang produksi (mixing), ruang administrasi yang dilengkapi dengan computer, gudang farmasi dan fasilitas toilet dan kamar mandi.

Peralatan yang terdapat di instalasi farmasi RSUD Kota Bandung antara lain peralatan kantor untuk administrasi, peralatan peracikan, peralatan untuk penyimpanan (lemari/rak, lemari penyimpanan khusus untuk narkotika dan psikotropika, lemari pendingin dan pendingin ruangan untuk obat termolabil), peralatan pendistribusian, peralatan ruang informasi obat dan alat komunikasi.

2.3.       Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai

Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) di Rumah Sakit menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit merupakan tanggung jawab seorang apoteker. Pengelolaan perbekalan farmasi di RSUD Kota Bandung merupakan suatu siklus kegiatan meliputi: pemilihan, perencanaan kebutuhan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pemusnahan dan penarikan, pengendalian, administrasi dan pelaporan yang diperlukan bagi kegiatan Pelayanan Kefarmasian.

2.3.1.      Pemilihan

Pemilihan merupakan suatu kegiatan untuk menetapkan jenis sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP sesuai dengan kebutuhan rumah sakit. Pemilihan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai ini berdasarkan formularium dan standar pengobatan/pedoman diagnosa dan terapi, juga berdasarkan standar sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang telah ditetapkan. Selain itu, proses pemilihan juga mempertimbangkan pola penyakit, efektivitas dan keamanan, pengobatan berbasis bukti, mutu, harga, dan ketersediaan di pasaran. Pemilihan obat di RSUD dilakukan oleh panitia Farmasi dan Terapi (PFT) berdasarkan panduan yang tercantum dalam Formularium Nasional, DOEN dan ditambah dengan obat lain (diluar Fornas dan DOEN) yang diperlukan di Rumah Sakit dibuat dalam bentuk Formulairum Rumah Sakit. Obat untuk pasien BPJS dipilih berdasarkan acuan obat yang ada di Formularium Nasional dan yang ada di e-catalogue.

 

2.3.2.      Perencanaan Kebutuhan

Perencanaan perbekalan farmasi di RSUD Kota Bandung dilakukan oleh bagian perencanaan atas usulan bagian gudang farmasi. Metode yang digunakan dalam perencanaan kebutuhan adalah metode konsumsi dengan mempertimbangkan hal-hal yaitu anggaran yang tersedia; penetapan prioritas; sisa persediaan; dan data pemakaian periode yang lalu; waktu tunggu pemesanan; dan rencana pengembangan. Kegiatan perencanaan meliputi usulan Rencana Kebutuhan Barang Unit (RKBU), obat-obatan, alat kesehatan dan Barang Habis Pakai (BHP). Perencanaan perbekalan farmasi di IFRS RSUD Kota Bandung dibagi menjadi dua, yaitu :

1.    Rencana jangka panjang

Rencana jangka panjang dilakukan tiap tahun berdasarkan metode konsumsi atau pemakaian periode sebelumnya. 

2.    Rencana jangka pendek

Rencana  jangka pendek dilakukan perminggu dengan  memperhatikan jumlah barang yang kosong pada saat itu. Jika terdapat kekosongan barang maka akan dibuat defekta kemudian dilakukan perencanaan lalu pengadaan barang.

2.3.3.      Pengadaan

Proses pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai di IFRS RSUD Kota Bandung dilakukan oleh bagian Unit Layanan Pengadaan (ULP). Pengadaan dapat dilakukan dengan pembelian, produksi sediaan farmasi dan sumbangan/hibah.

1.    Pembelian perbekalan farmasi di IFRS RSUD Kota Bandung berdasarkan dua sumber dana yaitu APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) serta BLUD  (Badan  Layanan  Umum  Daerah).  Pengadaan  dengan  dana  APBD dibelanjakan sesuai dengan dana APBD yang diperoleh dari pemerintah. Sedangkan pengadaan dengan dana BLUD, pengadaan langsung menggunaakan dana dari Rumah Sakit.

2.    Produksi sediaan farmasi yang telah dilaksanakan di RSUD Kota Bandung meliputi pengemasan kembali H2O2  3% kemasan 10 mL dan sol acid salisilat 1% (apabila terdapat permintaan resep).

3.    Sumbangan/hibah adalah program pemerintah untuk pengendalian penyakit yang dicanangkan oleh pemerintah, seperti paket TBC (OAT), obat ARV, Obat Kusta, Obat malaria, Vaksin dan Obat Program BKKBN.

Sedangkan pengadaan obat-obat narkotika dan psikotropika melalui tahapan sebagai berikut:

1.    Obat golongan narkotika dan psikotropika dipesan dengan menggunakan surat pesanan khusus (Format N9) yang ditandatangani oleh Apoteker dengan mencantumkan nomor SIK. Bentuk surat pesanan narkotika dan psikotropika terdapat pada Lampiran 3 dan Lampiran 4.

2.    Surat pesanan dikirim langsung pada distributor khusus narkotika yaitu PT. Kimia Farma Tbk.) dan untuk golongan psikotropika dipesan ke distributor khusus yang ditunjuk.

3.    Surat pesanan narkotika dibuat rangkap empat dengan warna yang berbeda-beda yaitu warna putih, kuning, biru dan merah. Setiap surat pesanan narkotika hanya memuat satu jenis narkotika. Sedangkan surat pesanan psikotropika terdiri dari dua rangkap. Surat pesanan psikotropika dapat diisi lebih dari 1 macam jenis obat dan maksimal berisi 7 jenis obat psikotropika.

4.    Khusus untuk obat-obatan narkotika, pembeliannya dilakukan secara tunai.

2.3.4.      Penerimaan

Penerimaan perbekalan farmasi dilakukan berdasarkan hasil pengadaan sebelumnya oleh Instalasi Farmasi RSUD Kota Bandung dilakukan berdasarkan pengadaan secara dana APBD dan dana BLUD. Ketika barang yang tiba di Gudang, harus di cek terlebih dahulu undangan usulan yang dibuat, dilanjutkan dengan pengecekan SP (Surat Pemesanan), dan faktur (cek jenis barang, jumlah, harga, kemasan, sediaan, nomor batch dan waktu kadaluarsa, serta keadaan fisik). Masa kadaluarsa perbekalan farmasi juga dicek, untuk sediaan slow moving minimal 2 tahun, fast moving minimal 1 tahun, dan obat life-saving 1 tahun.

2.3.5.      Penyimpanan

Penyimpanan merupakan suatu kegiatan menyimpan dan memelihara dengan cara menempatkan perbekalan farmasi yang diterima pada tempat yang dinilai aman dari gangguan fisik yang dapat merusak mutu perbekalan farmasi tersebut. Penyimpanan harus dapat menjamin kualitas dan keamanan perbekalan farmasi sesuai dengan persyaratannya (persyaratan stabilitas dan keamanan, sanitasi, cahaya, kelembaban, ventilasi, dan penggolongan perbekalan farmasi). 

Penyimpanan di gudang farmasi disusun berdasarkan bentuk sediaan, alfabetis, sumber dana, serta kriteria fast moving dan slow moving. Selain itu, terdapat penyimpanan alat kesehatan, kabinet khusus dua pintu dan dua kunci untuk obat golongan narkotika dan psikotropika, obat high alert, obat LASA, dan lemari pendingin untuk sediaan termostabil. Penyimpanan juga dilakukan dengan metode FIFO FEFO untuk mengurangi resiko obat tidak terpakai karena terlanjur kadaluarsa.

Cara penyimpanan perbekalan farmasi di setiap depo farmasi dan gudang farmasi RSUD Kota Bandung dilaksanakan dengan kondisi sebagai berikut :

1.    Sediaan tablet/kapsul di simpan di rak atau lemari tertentu dan disusun berdasarkan alfabetis

2.    Sediaan sirup, drop, krim, salep di simpan pada rak/lemari terpisah sesuai bentuk sediaan secara alfabetis.

3.    Obat narkotika dan psikotropika di simpan di lemari khusus dengan pintu ganda yang terkunci.

4.    Perbekalan Farmasi lainnya yang memerlukan suhu 2-80C di simpan dalam lemari pendingin.

5.    Obat High Alert di simpan pada area yang dibatasi ketat (restricted), diberi tanda merah, serta diberi stiker bertuliskan “HIGH ALERT” hingga pada kemasan terkecil.

6.    Obat yang memiliki nama ucapan dan bentuk yang mirip (NORUM/LASA) “Tidak Boleh” di letakkan berdekatan walaupun terletak dalam kelompok abjad yang sama, harus diselingi dengan sedikitnya 2 (dua) obat yang bukan kategori LASA di antara atau di tengahnya dan diberi stiker hijau bertuliskan “LASA”.

7.    Bahan-bahan berbahaya di simpan di rak dan di susun berdasarkan alfabetis.

8.    Alat atau bahan habis pakai di simpan pada ruangan tersendiri.

9.    Cairan infus dalam kemasannya/karton diletakkan di lantai yang telah diberi alas berupa palet.

2.3.6.      Pendistribusian

Pendistribusian yang dilakukan oleh Instalasi Farmasi RSUD Kota Bandung dibagi menjadi 3, yaitu:

 

1.      Dari Gudang ke Instalasi Farmasi

Pendistribusian ini dilakukan dari gudang ke Instalasi Farmasi seperti instalasi rawat jalan, rawat inap, depo OK dan depo IGD. Pendistribusian ini dilakukan setiap hari. Barang yang diberikan berdasarkan bon permintaan barang dari masing- masing unit.

2.      Dari Gudang ke Poliklinik/Ruang Perawatan

Proses pendistribusian dari gudang ke poliklink/ruang perawatan dilakukan setiap 2 minggu sekali. Kebanyakan barang yang didistribusikan berupa Barang Habis Pakai (BHP).

3.      Dari Instalasi Farmasi ke Pasien

Distribusi perbekalan farmasi untuk pelayanan pasien yang dalam proses terapi di RSUD Kota Bandung dibagi menjadi:

a)      Distribusi perbekalan farmasi untuk pasien rawat inap

Distribusi perbekalan farmasi untuk pasien rawat inap di RSUD Kota Bandung terdiri dari 3 sistem pendistribusian, yaitu:

1)   Sistem Resep Perorangan (Individual receipt)

Sistem resep perorangan ini dapat diberikan kepada pasien berdasarkan resep dokter. Obat-obatan tidak tersedia di ruang perawatan sehingga harus langsung diambil di Instalasi Farmasi (depo farmasi rawat inap). Biasanya sistem ini berlaku untuk pasien pulang.

2)   Sistem One Day Dose (ODD)

Sistem One Day Dose (ODD) merupakan metode penyiapan dan pengendalian obat yang dikoordinasikan oleh bagian Instalasi Farmasi disediakan pada ruang perawatan pasien untuk setiap penggunaan perharinya. Sistem ini sudah diberlakukan untuk seluruh pasien rawat inap di RSUD Kota Bandung.

3)   Sistem Persediaan di Ruang Perawatan (Trolley Emergency)

Dalam sistem persediaan di ruang perawatan di setiap lantai, obatobatan disimpan di ruang perawatan dan dapat diberikan sewaktuwaktu kepada pasien dalam jumlah dan jenis terbatas untuk kebutuhan satu periode tertentu. Biasanya terdiri dari jenis obat obatan life saving yang digunakan untuk  gawat darurat  dan  harus selalu  tersedia  karena  diperlukan dalam keadana emergency.

 

4)      Sistem Unit Dose Dispensing (UDD)

Sistem Unit Dose Dispensing merupaka sistem distribusi dengan peresepan perorangan yang disiapkan dalam unti tunggal/ganda untuk penggunaan 1 kali oleh pasien. sistem ini hanya berlaku pada ruang Anggrek A.

b)      Distribusi perbekalan farmasi untuk pasien rawat jalan

Distribusi perbekalan farmasi untuk pasien rawat jalan di RSUD Kota Bandung dilakukan dengan sistem resep perorangan (individual receipt) yaitu obat- obatan serta alat kesehatan disimpan di depo Instalasi Farmasi, sehingga pasien dapat mengambil langsung di ruang pelayananan atau depo instalasi farmasi rawat jalan sesuai dengan resep dokter.

2.3.7.      Pemusnahan dan Penarikan

Penarikan dan pemusnahan dilakukan untuk sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai bila produk tidak memenuhi persyaratan mutu, telah kadaluarsa, tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam pelayanan kesehatan atau kepentingan ilmu pengetahuan, atau telah dicabut izin edarnya. Kegiatan pemusnahan dilakukan sebagai berikut:

1.    Pengusulan kegiatan pemusnahan oleh IFRS kepada direktur RS.

2.    Setelah disetujui, direktur membuat disposisi ke bagian KESLING (Kesehatan Lingkungan) sebagai limbah B3 (Bahan Bebahaya dan Beracun)

3.    Bagian KESLING akan berkoordinasi dengan pihak ketiga untuk pemusnahan dengan insenerator.

2.3.8.      Pengendalian

Kegiatan Pengendalian sediaan farmasi, alat kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai dilakukan oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit dengan melakukan Stock Opname setiap 3 bulan sekali, pengecekan stok 5 wajib disemua ruangan Instalasi Farmasi (Gudang farmasi, Instalasi Farmasi Rawat Jalan, Instalasi Farmasi Rawat Inap, Depo Ok, dan Depo IGD).

2.3.9.      Administrasi

Administrasi dilakukan dengan tertib untuk memudahkan penelusuran kegiatan yang sudah berlalu. Kegiatan administrasi di Instalasi Farmasi RSUD Kota Bandung meliputi pencatatan dan pelaporan terhadap kegiatan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang meliputi pemilihan, perencanaan kebutuhan, pengadaan, penerimaan, pendistribusian, pengendalian persediaan, pengembalian, pemusnahan dan penarikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai, administrasi keuangan, dan penghapusan.

Administrasi di Instalasi Farmasi RSUD Kota Bandung antara lain:

1.    Laporan Pendapatan/Keuangan

2.    Laporan Narkotika dan Psikotropika

3.    Laporan Generik dan Non Generik

4.    Laporan Pasien ARV

5.    Laporan F31 (Formulasi 31 Hari)

6.    Laporan jumlah resep

7.    Laporan Stok Opname

2.4.       Pelayanan Farmasi Klinik di RSUD Kota Bandung

2.4.1.      Pengkajian dan Pelayanan Resep

Pelayanan diresepkan oleh dokter sesuai dengan efek terapetik masing-masing obat tersebut dan meminimalisir interaksi obat baik yang bersifat sinergis maupun antagonis dan yakin bahwa obat yang diterima pasien aman untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Selama melakukan PKPA, mahasiswa melakukan pengkajian resep di depo farmasi rawat inap dan rawat jalan. Pengkajian resep yang lebih ditekankan untuk dilakukan oleh mahasiswa PKPA yaitu aspek klinisnya, untuk aspek administrasi dan farmasetik dilakukan oleh asisten dan apoteker yang bertugas. Ketika terdapat kajian yang tidak sesuai seperti dosis berlebih/kurang, adanya interaksi obat, duplikasi terapi atau kombinasi antagonis maka segera dilaporkan kepada apoteker yang bertugas untuk selanjutnya dilakukan konsultasi kepada dokter.

2.4.2.      Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat

Penelusuran riwayat penggunaan obat merupakan proses untuk mendapatkan informasi mengenai seluruh obat/sediaan farmasi lain yang pernah dan sedang digunakan pasien. Penelusuran riwayat penggunaan obat ini dilakukan pada pasien baru dengan cara melakukan wawancara sejarah obat (WSO). Adapun yang ditanyakan dalam wawancara tersebut diantaranya yaitu keluhan secara umum, alergi (obat, makanan, cuaca), riwayat penggunaan obat, riwayat penyakit, riwayat keluarga, dan pola hidup/kebiasaan (merokok, minum kopi, teh, suplemen, obat herbal, dll). Hasil wawancara tersebut dicatat di dalam status pasien.

2.4.3.      Rekonsiliasi Obat

Rekonsiliasi obat merupakan proses membandingkan instruksi pengobatan dengan obat yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan obat (medication error) seperti obat tidak diberikan, duplikasi, kesalahan dosis atau interaksi obat.. Di RSUD Kota Bandung kegiatan rekonsiliasi obat dilakukan oleh apoteker, khususnya di instalasi rawat inap. Rekonsiliasi obat dilakukan ketika pasien baru masuk ke ruangan dan ketika pasien akan pulang. Apoteker akan menanyakan obat yang sedang dikonsumsi agar dokter tidak meresepkan obat yang sama (mencegah duplikasi) dan akan mempertimbangkan apakah obat yang sedang digunakan akan dilanjutkan atau dihentikan pemakaiannya.

2.4.4.      Pelayanan Informasi Obat

Pelayanan informasi obat (PIO) yang dilakukan di RSUD Kota Bandung telah sesuai dengan peraturan yang berlaku, dimana pelayanan informasi obat dilakukan disetiap pusat pelayanan kefarmasian baik di instalasi rawat inap maupun rawat jalan. Selama PKPA, mahasiswa PKPA diberikan kesempatan untuk melakukan PIO baik di ruang rawat inap dan rawat jalan. Untuk pasien rawat inap PIO dilakukan di depo farmasi rawat inap, PIO dilakukan kepada pasien/keluarga pasien pulang. Sedangkan di depo rawat jalan, PIO dilakukan kepada pasien pada saat penyerahan obat. Adapun PIO yang dilakukan selama PKPA diantaranya yaitu PIO mengenai aturan minum obat, kegunaan obat dan cara penggunaan alat khusus. Selain itu juga dilakukan PIO dengan bentuk PKRS (Promosi Kesehatan Rumah Sakit), brosur, dan leaflet/flyer.

2.4.5.      Konseling

Pelayanan konseling di RSUD Kota Bandung terutama diberikan kepada pasien dengan polifarmasi, pasien yang menggunakan obat-obatan dengan instruksi khusus (seperti inhaler, suppositoria), atau pasien yang membutuhkan kepatuhan yang tinggi dalam mengonsumsi obat (seperti pasien HIV dan pasien tuberkulosis). Di rumah sakit RSUD Kota Bandung, konseling dilakukan pada pasien rawat jalan dan rawat inap. Pada pasien rawat inap di Rumah Sakit RSUD Kota Bandung, dilakukan pada pasien yang akan pulang. 

2.4.6.      Visite

Visite adalah kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan oleh Apoteker secara mandiri atau visite tim/medis yang dilakukan bersama tenaga kesehatan lainnya. Visite mandiri adalah kegiatan kunjungan ke ruang perawatan pasien yang dilakukan oleh apoteker sendiri.

Visite yang dilakukan di RSUD Kota Bandung yaitu visite tim/medis dan visite mandiri pada pasien yang dilihat berdasarkan urutan prioritas yaitu gangguan fungsi ginjal, gangguan fungsi hati, pasien yang mendapat obat dengan indeks terapi sempit   dan   pasien   dengan   nilai   laboratorium   kritikal   (hipokalemia   dan hipoalbumin).  Persiapan  yang  dilakukan  sebelum  visite  yaitu  mengumpulkan informasi mengenai kondisi pasien serta memeriksa terapi obat pada rekam medik. Sedangkan kegiatan yang dilakukan pada saat visite mandiri  melakukan  wawancara  kepada  pasien  atau  keluarga  pasien  untuk mengetahui riwayat penyakit, riwayat penggunanaan obat, alergi obat dan keluhan yang dirasakan pasien, melakukan konseling pasien terkait obat yang diterimanya serta memastikan bahwa pasien telah mengonsumsi obatnya dengan rutin  dan benar.

2.4.7.      Pemantauan Terapi Obat

Pemantauan Terapi Obat (PTO) adalah suatu kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien dengan cara memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping. Pemantauan Terapi Obat (PTO) di RSUD Kota Bandung dilaksanakan oleh apoteker dan baru dilaksanakan di beberapa ruangan. Metode yang digunakan dalam pemantauan terapi obat adalah SOAP (Subjective, Objective, Assessment, Plan). Pada saat  pelaksanaan, apoteker mendokumentasikan kegiatan tersebut dalam form khusus PTO kemudian diintegrasikan dengan catatan tenaga medis lain dalam CPPT (Catatan Pengobatan Pasien Terintegrasi). Kegiatan dalam PTO mencakup pengkajian pemilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respon terapi, reaksi obat tidak diinginkan (ROTD), interaksi obat pemberian rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat, dan pemantauan efektivitas dan efek samping terapi obat.

 

2.4.8.      Monitoring Efek Samping Obat

Monitoring efek samping obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa dan terapi. Efek samping obat adalah reaksi obat yang tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja farmakologi. Selama PKPA di RSUD Kota Bandung, kegiatan MESO dilakukan pada pasien rawat inap pada saat visite dengan cara wawancara pasien terkait efek samping obat yang mungkin timbul dari obat yang digunakan oleh pasien.

2.4.9.      Evaluasi Penggunaan Obat

Di RSUD Kota Bandung kegiatan evaluasi penggunaan obat (EPO) dilakukan di instalasi rawat inap dengan cara dilakukannya visite (baik itu visite mandiri maupun visite medis), dimana dilakukan pemantauan terhadap pasien dengan cara melihat kondisi pasien dan dilakukannya wawancara. Kegiatan EPO terutama dilakukan terhadap pasien yang mendapat obat polifarmasi dimana rentan terjadinya interaksi obat dan juga efek samping obat yang tidak diharapkan.

 

2.4.10.  Dispensing Sediaan Streil

Dispensing sediaan steril harus dilakukan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit dengan teknik aseptik untuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan melindungi petugas dari paparan zat berbahaya serta menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat. Di RSUD Kota Bandung belum melakukan dispensing sediaan steril karena keterbatasan peralatan dan SDM.

2.4.11.  Pemantauan Kadar Obat dalam Darah

Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan interpretasi hasil pemeriksaan kadar obat tertentu atas permintaan dari dokter yang merawat karena indeks terapi yang sempit atau atas usulan dari apoteker kepada dokter. Di RSUD juga belum dilakukan PKOD karena keterbatasan alat dan SDM.

 

 

 


 

BAB III

TUGAS KHUSUS

PEMILIHAN ANTIBIOTIK UNTUK KASUS BEDAH MENURUT

 BURKE CUNHA

3.1 Pendahuluan

3.1.1 Latar Belakang

Infeksi merupakan salah satu penyebab kematian dan kesakitan di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya di Indonesia. Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi oleh bakteri (Aulia, 2017). Obat untuk mengatasi masalah tersebut adalah obat antimikroba seperti antibakteri atau antibiotik,. Antibiotik adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman (Tjay dan Rahardja, 2007).

Antibiotika merupakan golongan obat yang paling banyak digunakan di dunia. Lebih dari seperempat anggaran rumah sakit dikeluarkan untuk biaya penggunaan antibiotika. Dinegara yang sudah maju 13–37% dari seluruh penderita yang dirawat di rumah sakit mendapatkan antibiotika baik secara tunggal maupun kombinasi, sedangkan dinegara berkembang 30-80% penderita yang dirawat di rumah sakit mendapat antibiotika (Dertarani, 2009).

Pada penelitian tentang kualitas penggunaan antibiotik di berbagai bagian rumah sakit ditemukan 30-80% tidak didasarkan pada indikasi yang tepat (Kemenkes RI, 2011a). Sebuah penelitian di Kosta Rika menunjukkan 40% dari 500 pasien anak di suatu rumah sakit mendapatkan antibiotik yang tidak rasional (Mora et al., 2002). Secara umum, peresepan antibiotik sering suboptimal, tidak hanya di negara berkembang, namun juga di negara maju (Van der Meer dan Gyssens, 2001; Mettler et al., 2007; Kristiansson et al., 2009; Sahoo et al., 2010).  Berdasarkan penelitian mengenai pola penggunaan antibiotika di Indonesia yang dilakukan oleh Hadi et al. kurang lebih 84% pasien di beberapa rumah sakit pendidikan di Indonesia mendapat antibiotika (Hadi et al., 2008; Widayati et al., 2011). Sekitar 53% dari jumlah tersebut mendapat antibiotika untuk terapi, 15% untuk profilaksis dan 32% tidak jelas tujuannya. Dilaporkan pula bahwa bila diperhatikan dari aspek rasionalitas pemberian antibiotika, hanya 21% peresepan antibiotika memang tepat (rasional), 15% tidak tepat dalam hal pemilihan jenis antibiotika, tidak tepat dosis atau durasinya dan 42% tidak tepat indikasi (Hadi et al., 2008; Widayati et al., 2011). Hal ini menunjukkan cukup tingginya irasionalitas dalam peresepan antibiotika di Indonesia.

Penelitian lain telah dilakukan oleh Antimicrobial Resistance in Indonesia Prevalence   and   Prevention di  RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan RSUP Dr Kariadi Semarang tahun 2002 yang  menunjukkan  bahwa sebanyak 83%  pasien  mendapat  antibiotik  yang tidak rasional  dengan persentase sebesar 60%.  Hasil  penilaian  kualitas penggunaan antibiotik di RSUP Dr Kariadi antara lain 19-76% tidak ada indikasi, 9-45% tidak tepat (dosis, jenis, dan lama pemberian) dan 1-8% tidak ada indikasi profilaksis. Di bagian bedah, tingkat penggunaan antibiotik yang rasional kurang  dari 20%. (Dertarani, 2009). Selain itu, berdasarkan suatu survei dilakukan di RS Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta menunjukkan bahwa 76,8% penggunaan antibiotik untuk profilaksis bedah adalah tidak rasional dalam hal indikasi atau lama pemberian (Pamela, 2011).

Tingginya prevalensi penggunaan antibiotik yang tidak rasional dapat menyebabkan kejadian resistensi. Dampak lain dari penggunaan antibiotik yang tidak rasional yaitu meningkanya toksisitas dan efek samping antibiotik tersebut yang menyebabkan biaya perawatan lebih meningkat. Berdasarkan uraian tersebut, perlu dilakukannya pemilihan antibiotik untuk kasus bedah dengan acuan menurut Burke Cunha untuk mengetahui kualitas penggunaan antibiotik. Pemilihan ini diharapkan dapat menjadi referensi dan sebagai bahan kajian bagi RSUD Kota Bandung dalam meningkatkan pelayanan kesehatan kepada pasien.

3.1.2 Tujuan

Untuk mengetahui pemilihan antibiotik yang tepat untuk kasus bedah menurut Burke Cunha sebagai upaya untuk memberikan pengobatan yang optimal kepada pasien.

3.2 Tinjauan Pustaka

3.2.1   Antibiotik

i) Definisi Antibiotik

Pengertian antibiotik secara sempit adalah senyawa yang dihasilkan oleh berbagai jenis mikroorganisme (bakteri, fungi) yang menekan pertumbuhan mikroorganisme lainnya. Namun penggunaannya secara umum sering kali memperluas istilah antibiotik hingga meliputi senyawa antimikroba sintetik, seperti sulfonamide dan kuinolon (Hardman dan Limbird, 2008). 

Antibiotik adalah obat yang digunakan untuk mengatasi infeksi bakteri. Antibiotik bisa bersifat bakterisid (membunuh bakteri) atau bakteriostatik (mencegah berkembangnya bakteri) (Permenkes, 2011).

ii) Penggolongan Antibiotik

a.   Berdasarkan struktur kimia antibiotik

Berdasarkan struktur kimianya, antibiotika dikelompokkan sebagai berikut (Tjay, 2007):

1)   Golongan Beta-Laktam, antara lain golongan sefalosporin (sefaleksin, sefazolin, sefuroksim, sefadroksil, seftazidim), golongan monosiklik, dan golongan penisilin (penisilin, amoksisilin).

2)   Golongan aminoglikosida dengan spektrum kerjanya luas yang sensitive terhadap bakteri Gram negatif dan Gram positif. Aktifitasnya adalah bakterisid, berdasarkan dayanya untuk menembus dinding bakteri dan mengikat diri pada ribosom di dalam sel. Contohnya streptomisin, gentamisin, amikasin, neomisin, dan paranomisin.

3)   Golongan tetrasiklin yang bersifat bakteriostatis spectrum luas. Mekanisme kerjanya berdasarkan penghambatan sintesis protein bakteri. Contohnya tetrasiklin, doksisiklin, dan monosiklin.

4)   Golongan sulfonamid dan trimethoprim dengan mekanisme kerja yaitu menghambat sintesis asam folat bakteri sehingga basa purin dan DNA tidak terbentuk.

5)   Golongan makrolida bersifat bakteriostatis. Mekanisme kerjanya melalui pengikatan reversibel pada ribosom bakteri sehingga sintesa protein terhambat. Bila digunakan terlalu lama atau sering dapat menyebabkan resistensi.

6)   Golongan linkomisin bersifat bakteriostatis dengan spektrum kerja lebih sempit daripada makrolida, terutama terhadap kuman gram positif dan anaerob. Antibiotik ini hanya digunakan bila terdapat resistensi terhadap antibiotik lain disebabkan karena efek sampingnya yang besar. Contohnya antibiotik ini adalah linkomisin.

7)   Golongan kuinolon bersifat bakterisid pada fase pertumbuhan bakteri, berdasarkan inhibisi terhadap enzim DNA-gyrase bakteri, sehingga sintesis DNAnya tidak terjadi. Golongan ini hanya dapat digunakan pada infeksi saluran kemih (ISK) tanpa komplikasi.

8)   Antibiotik golongan kloramfenikol dengan spektrum luas yang bersifat bakteriostatis terhadap hampir semua bakteri Gram positif dan Gram negatif. Mekanisme kerjanya berdasarkan penghambatan sintesis polipeptida bakteri.

b.   Berdasarkan luas aktivitasnya

Berdasarkan aktivitasnya, antibiotika dikelompokkan sebagai berikut (Setiabudy, 2007):

1)   Antibiotik spektrum sempit (Narrow spectrum)

2)   Golongan ini terutama efektif untuk melawan satu jenis organisme. Contohnya penisilin dan eritromisin dipakai untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram positif. Karena antibiotika berspektrum sempit bersifat selektif, maka obat-obat ini lebih aktif dalam melawan organisme tunggal tersebut daripada antibiotika berspektrum luas.

3)   Antibiotik spektrum luas (Broad spectrum)

4)   Antibiotik spektrm luas contohnya seperti tetrasiklin dan sefalosporin efektif terhadap organisme baik gram positif maupun gram negatif. Antibiotika berspektrum luas sering kali dipakai untuk mengobati penyakit infeksi yang belum diidentifikasi dengan pembiakan dan sensitifitas.

 c.   Berdasarkan mekanisme kerjanya

Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibiotik dikelompokkan sebagai berikut (Permenkes, 2011):

1)   Menghambat sintesis atau merusak dinding sel bakteri, seperti beta-laktam (penisilin, sefalosporin, monobaktam, karbapenem, inhibitor beta-laktamase), basitrasin dan vankomisin.

2)   Memodifikasi atau menghambat sintesis protein, misalnya aminoglikosid, kloramfenikol, tetrasiklin, makrolida (eritromisin, azitromisin, klaritromisin), klindamisin, mupirosin dan spektinomisin.

3)   Menghambat enzim-enzim esensial dalam metabolism folat, misalnya trimethoprim dan sulfonamid.

4)   Mempengaruhi sintesis atau metabolism asam nukleat, misalnya kuinolon, nitrofurantoin.

d.   Berdasarkan daya kerja

Berdasarkan daya kerjanya, antibiotik dikelompokkan sebagai berikut (Permenkes, 2011):

1)   Bakterisidal, yaitu antibiotik yang mampu mematikan bakteri pada dosis biasa. Antibiotik ini bekerja di dinding sel, membran sel, dan sintesis DNA. Antibiotik ini dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu : 1). Concentrentration dependent killing (membunuh bakteri bergantung kadar) seperti  aminoglikosida dan kuinolon. 2). Time dependent killing (membunuh bakteri bergantung waktu) seperti betalactam dan vancomicin.

2)   Bakteriostatik, yaitu antibiotik yang mampu menghentikan pertumbuhan dan replikasi bakteri pada dosis biasa. Antibiotik ini bekerja dengan menghambat sintesis protein. Contohnya kloramfenikol, makrolida, dan linkomisin.

 e.   Resistensi Antibiotik

Resistensi adalah kemampuan bakteri untuk menetralisir dan melemahkan daya kerja antibiotik. Hal ini dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu (Drlica & Perlin, 2011):

1)   Merusak antibiotik dengan enzim yang diproduksi.

2)   Mengubah reseptor titik tangkap antibiotik.

3)   Mengubah fisiko-kimiawi target sasaran antibiotik pada sel bakteri.

4)   Antibiotik tidak dapat menembus dinding sel, akibat perubahan sifat dinding sel bakteri.

5)   Antibiotik masuk ke dalam sel bakteri, namun segera dikeluarkan dari dalam sel melalui mekanisme transport aktif ke luar sel.

Faktor yang menyebabkan resistensi antibiotik diantaranya yaitu penggunaan antibiotik dengan frekuensi yang sering, penggunaan antibiotik yang tidak rasional, penggunaan antibiotik baru yang berlebihan, dan penggunaan antibiotik untuk jangka waktu lama (Setiabudy, 2007). Menurut Setiabudy (2007), mekanisme resistensi antibiotik terbagi menjadi 3, yaitu:

1)   Obat tidak mencapai tempat kerjanya didalam sel mikroba

Antibiotik tidak dapat masuk melalui porin atau lubang kecil pada bakteri disebabkan karena adanya mutasi atau perubahan pada porin tersebut.

2)   Inaktivasi obat

Inaktivasi obat disebabkan karena enzim-enzim yang dihasilkan bakteri merusak struktur antibiotik sehingga terjadi resistensi khususnya pada golongan aminoglikosida dan beta aktam.

3)   Mikroba mengubah tempat ikatan (binding site) antibiotik

Mekanisme ini terlihat pada S. aureus yang resisten terhadap metisilin  (MRSA). Bakteri ini mengubah Penicillin Binding Proteinnya (PBP) sehingga afinitasnya menurun terhadap metisilin dan antibiotik betalaktam yang lain (Setiabudy, 2007).

 

3.2.2   Prinsip Penggunaan Antibiotik untuk Terapi Empiris dan Definitif

Prinsip penggunaan antibiotik untuk terapi empiris dan definitif menurut Permenkes, 2011 sebagai berikut:

1.      Antibiotik Terapi Empiris

Penggunaan antibiotik untuk terapi empiris adalah penggunaan antibiotik pada kasus infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebabnya. Tujuan pemberian antibiotik untuk terapi empiris adalah eradikasi atau penghambatan pertumbuhan bakteri yang diduga menjadi penyebab infeksi, sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologi. Indikasi penggunaan antibiotik ini yakni ditemukan sindrom klinis yang mengarah pada keterlibatan bakteri tertentu yang paling sering menjadi penyebab infeksi.

Antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk terapi infeksi Sedangkan pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan antibiotik parenteral. Lama pemberian antibiotik empiris diberikan untuk jangka waktu 48-72 jam. Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta data penunjang lainnya.

Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik empiris, yakni sebagai berikut

a.       Data epidemiologi dan pola resistensi bakteri yang tersedia di komunitas atau di rumah sakit setempat.

b.      Kondisi klinis pasien.

c.       Ketersediaan antibiotik.

d.      Kemampuan antibiotik untuk menembus ke dalam jaringan/organ yang terinfeksi.

e.       Untuk infeksi berat yang diduga disebabkan oleh polimikroba dapat digunakan antibiotik kombinasi.

2.      Antibiotik untuk Terapi Definitif

Penggunaan antibiotik untuk terapi definitif adalah penggunaan antibiotik pada kasus infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola resistensinya. Tujuan pemberian antibiotik untuk terapi definitif adalah eradikasi atau penghambatan pertumbuhan bakteri yang menjadi penyebab infeksi, berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi. Indikasi penggunaan antibiotik definitif sesuai dengan hasil mikrobiologi yang menjadi penyebab infeksi.

Antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan antibiotik parenteral. Jika kondisi pasien memungkinkan, pemberian antibiotik parenteral harus segera diganti dengan antibiotik per oral. Lama pemberian antibiotik definitif berdasarkan pada efikasi klinis untuk eradikasi bakteri sesuai diagnosis awal yang telah dikonfirmasi. Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta data penunjang lainnya.

 

Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik definitif, yakni sebagai berikut,

a.       Efikasi klinik dan keamanan berdasarkan hasil uji klinik

b.      Sensitivitas

c.       Biaya

d.      Kondisi klinis pasien

e.       Diutamakan antibiotik lini pertama/spektrum sempit

f.       Ketersediaan antibiotik (sesuai formularium rumah sakit).

g.      Sesuai dengan Pedoman Diagnosis dan Terapi (PDT) setempat yang terkini.

h.      Paling kecil memunculkan risiko terjadi bakteri resisten. 

3.2.3   Prinsip Penggunaan Profilaksis Antibiotik

Perbedaan utama antara pemberian profilaksis dan terapi Antimikroba (AM) ialah pada besarnya inokulum kuman. Pada profilaksis, ukuran inokulum kuman kecil sekali atau nol karena memang tidak ada infeksi. Pada pemberian untuk terapi, ukuran inokulum besar dan antimikroba harus diberikan sampai infeksi dapat diatasi. Dengan demikian pemberian profilaksis berlangsung singkat yaitu terbatas pada waktu terjadi paparan terhadap infeksi.

Tidak semua pemberian profilaksis bermanfaat bagi pasien. Yang paling besar manfaatnya ialah profilaksis yang ditujukan kepada kuman tunggal yang diketahui peka terhadap AM yang diberikan itu, dan profilaksis itu diberikan itu, dan profilaksis itu diberikan untuk jangka waktu pendek. Sebaliknya bila profilaksis diberikan untuk jangka waktu pendek. Sebaliknya bila profilaksis diberikan untuk mencegah infeksi oleh banyak kuman yang kepekaannya tidak diketahui terhadap AM yang digunakan, apalagi bila diberikan untuk waktu yang lama, maka hasilnya biasanya mengecewakan.

Pada tindakan bedah, profilaksis hanya diberikan pada bedah kotor atau bersih terkontaminasi. Profilaksis AM untuk tindakan bedah yang bersih hanya dilakukan bila tindakan itu berisiko tinggi, misalnya pada total hip replacement. Profilaksis AM prabedah diberikan secara intravena pada saat induksi anestesi sehingga dalam waktu 15-30 menit mencapai kadar puncaknya dalam darah dan jaringan. Dengan demikian pada waktu dilakukan insisi bila ada kuman dari permukaan kulit atau mukosa yang terbawa masuk ke jaringan, maka kuman itu sulit dapat berkembang karena pada saat itu kadar antibiotika di jaringan sangat tinggi.

Pada kebanyakan tindakan bedah, profilaksis, cukup diberikan satu kali, namun bila pembedahan berlangsung beberapa jam, pemberian obat dapat diulangi. Pemberian profilaksis bedah yang melebihi 24 jam tidak memberi manfaat tambahan, tetapi menambah kemungkinan berkembangnya kuman resisten akibat terjadinya tekanan selektif. Pemberian profilaksis yang terlalu dini juga harus dihindarkan karena menyebabkan kadar AM dalam darah tidak optimal pada waktu kuman ikut masuk ke jaringan melalui sayatan kulit. Selain itu kuman mungkin sebagai sudah menjadi resisten karena terjadinya tekanan selektif.

Antimikroba profilaksis yang terpilih untuk kebanyakan infeksi ialah sefazolin karena kuman di kulit yang paling sering terbawa masuk ke jaringan waktu dilakukan infeksi ialah stapilokokus dan streptokokus. Bila ada alasan kuat dapat diberikan seftriakson atau AM lainnya (Farmakologi dan Terapi, 2016).

3.2.4   Prinsip Penggunaan Antibiotik Profilaksis Bedah

Antibiotik profilaksis adalah pemberian antibiotik sebelum, saat dan hingga 24 jam pasca operasi pada kasus yang secara klinis tidak didapatkan tanda-tanda infeksi. Diharapkan pada saat operasi antibiotik di jaringan target operasi sudah mencapai kadar optimal yang efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri.

Prinsip penggunaan antibiotik profilaksis selain tepat dalam pemilihan jenis juga mempertimbangkan konsentrasi antibiotik dalam jaringan saat mulai dan selama operasi berlangsung. Untuk profilaksis bedah, harus digunakan sefalosporin generasi I–II, kecuali pada kasus tertentu yang dicurigai melibatkan bakteri anaerob dapat ditambahkan metronidazole dan tidak dianjurkan menggunakan sefalosporin generasi III-IV, golongan karbapenem, dan golongan kuinolon.

Tujuan pemberian antibiotik profilaksis pada kasus pembedahan yaitu penurunan dan pencegahan kejadian Infeksi Luka Operasi (ILO), penurunan morbiditas dan mortalitas pasca operasi, penghambatan muncul flora normal resisten, dan meminimalkan biaya pelayanan kesehatan.

Dasar pemilihan jenis antibiotik untuk tujuan profilaksis yakni,

a.       Sesuai dengan sensitivitas dan pola bakteri patogen terbanyak pada kasus bersangkutan.

b.      Spektrum sempit untuk mengurangi risiko resistensi bakteri.

c.       Toksisitas rendah.

d.      Tidak menimbulkan reaksi merugikan terhadap pemberian obat anestesi.

e.       Bersifat bakterisidal.

f.       Harga terjangkau.

Antibiotik profilaksis diberikan secara intravena dan dianjurkan pemberian antibiotik intravena drip untuk menghindari risiko yang tidak diinginkan. Waktu pemberian antibiotik profilaksis yaitu ≤ 30 menit sebelum insisi kulit. Idealnya diberikan pada saat induksi anestesi. Untuk menjamin kadar puncak yang tinggi serta dapat berdifusi dalam jaringan dengan baik, maka diperlukan antibiotik dengan dosis yang cukup tinggi. Pada jaringan target operasi kadar antibiotik harus mencapai kadar hambat minimal hingga 2 kali lipat kadar terapi dan durasi pemberian adalah dosis tunggal.

Indikasi penggunaan antibiotik profilaksis didasarkan kelas operasi, yaitu operasi bersih dan bersih kontaminasi. Kelas operasi dikategorikan sebagai berikut, (SIGN,2008).

 

Tabel 2.1 Klasifikasi Kelas Operasi

Kelas Operasi

Definisi

Penggunaan Antibiotik

 

Operasi Bersih

Operasi yang dilakukan pada daerah dengan kondisi pra-bedah tanpa infeksi, tanpa membuka traktus (respiratorius, gastrointestinal, urinarius, bilier), operasi terencana, atau penutupan kulit primer dengan atau tanpa digunakan drain tertutup.

Kelas operasi bersih terencana umumnya tidak memerlukan antibiotik profilaksis kecuali pada beberapa jenis operasi, misalnya mata, jantung, dan sendi.

Operasi Bersih-kontaminasi

Operasi yang dilakukan pada traktus (digestivus, bilier, urinarius, respiratorius, reproduksi kecuali ovarium), atau operasi tanpa disertai kontaminasi yang nyata.

Pemberian antibiotik profikaksis pada kelas operasi bersih terkontaminasi perlu dipertimbangkan manfaat dan risikonya karena bukti ilmiah mengenai efektivitas antibiotik profilaksis belum ditemukan

Operasi kontaminasi

Operasi yang membuka saluran cerna, saluran empedu, saluran napas sampai orofaring, saluran kemih, saluran reproduksi kecuali ovarium atau operasi tanpa pencemar yang nyata.

Kelas operasi kontaminasi memerlukan antibiotik terapi (bukan profilaksis).

 

 

 

 

 

 

Operasi kotor

Operasi pada perforasi saluran cerna, saluran urogenital atau saluran napas yang terinfeksi ataupun operasi yang melibatkan darah yang purulent (inflamasi bacterial). Dapat pula operasi pada luka terbuka lebih dari 4 jam setelah kejadian atau terdapat jaringan nonvital yang luas atau nyata kotor

Memerlukan antibiotik terapi

 

3.2.5   Prinsip Penggunaan Antibiotik Kombinasi

Antibiotik kombinasi adalah  pemberian antibiotik lebih dari satu jenis untuk mengatasi infeksi.Tujuan pemberian antibiotik kombinasi adalah untuk meningkatkan aktivitas antibiotik pada infeksi spesifik (efek sinergis),  memperlambat dan mengurangi risiko timbulnya bakteri resisten. Indikasi penggunaan antibotik kombinasi menurut Brunton et.al,(2008), yakni sebagai berikut:

a.    Infeksi disebabkan oleh lebih dari satu bakteri (polibakteri).

b.   Abses intra abdominal, hepatik, otak dan saluran genital (infeksi campuran aerob dan anaerob).

c.    Terapi empiris pada infeksi berat.

Hal-hal yang perlu diperhatikan mengenai terapi antibiotik kombinasi (Brunton et.al, 2008):

a.    Kombinasi antibiotik yang bekerja pada target yang berbeda dapat meningkatkan atau mengganggu keseluruhan aktivitas antibiotik.

b.   Suatu kombinasi antibiotik dapat memiliki toksisitas yang bersifat aditif atau superaditif. Misalnya, vankomisin secara tunggal memiliki efek nefrotoksik minimal, tetapi pemberian bersama aminoglikosida dapat meningkatkan toksisitasnya.

c.    Diperlukan pengetahuan jenis infeksi, data mikrobiologi dan antibiotik untuk mendapatkan kombinasi rasional dengan hasil efektif.

d.   Hindari penggunaan kombinasi antibiotik untuk terapi empiris jangka lama.

e.    Pertimbangkan peningkatan biaya pengobatan pasien.

 

3.2.5   Pemilihan Antibiotik pada Kasus Bedah Menurut Burke Cunha

Pemilihan antibiotik atau kerasionalan terapi antibiotik dinilai berdasarkan pemenuhan kriteria 4T (tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien dan tepat dosis). Tepat indikasi dilakukan dengan melihat kesesuaian antara penggunaan antibiotik dengan kondisi klinis pasien yang membutuhkan/tidak terapi antibiotik, tepat obat. (Taketomo et al., 2006). Penggunaan antibiotik yang rasional diharapkan dapat meningkatkan therapeutic outcome dan membatasi laju resistensi (American Society of Health-System Pharmacist, 1998). Pemilihan antibiotik dapat dilakukan berdasarkan pedoman penggunaan antibiotik. Salah satu referensi untuk memilih antibiotik untuk kasus bedah adalah referensi menurut Burke Cunha, Berikut merupakan Tabel pemilihan antibiotik untuk kasus bedah Menurut referensi Burke Cunha Tahun 2015:

 

 

 

 

Tabel 2.2 Pemilihan Antibiotik Untuk Kasus Bedah Menurut Burkhe Cunha, 2015

No.

Diagnosis

Patogen

Terapi Antibiotik

Terapi Antibiotik Alternatif

Antibiotik Switch IV ke PO

Indikasi Antibiotik

1.

Osteomyelitis kronis

S. aureus

(MSSA)

 

Tigecycline 200 mg (IV) × 1 dosis, kemudian 100 mg (IV) setiap 24 jam. 2-4 minggu.

atau

Meropenem 1 g

(IV) setiap 8 jam.

atau

Piperacillin/

tazobactam

3,375 g (IV) setiap 6 jam.

atau

Ertapenem 1 gm (IV)

Setiap 24 jam.

Moxifloxacin 400 mg (IV) setiap 24 jam.

atau

Ceftizoxime 2 g

(IV) setiap 8 jam.

atau

Ampicillin/

sulbactam 3 g

(IV) setiap 6 jam.

Atau terapi kombinasi dengan

Ceftriaxone 1 g

(IV) setiap 24 jam

plus

Metronidazole

1 g (IV) setiap 24 jam

Clindamycin 300 mg (PO) setiap 8 jam

plus

Levofloxacin 500 mg (PO) setiap 24 jam

Atau monoterapi dengan

Moxifloxacin

400 mg (PO)

Setiap 24 jam.

 

 

 

 

Terapi antibiotik

S. aureus (MRSA)

Linezolid 600 mg (IV) setiap 12 jam. 4-6 minggu

atau

Minocycline 100 mg (IV) setiap 12 jam. 4-6 minggu

atau

Vancomycin 2 g (IV) setiap 12 jam. 4-6 minggu

atau

Quinupristin/dalfopristin 7,5 mg/kg (IV) setiap 12 jam. 4-6 minggu.

Linezolid 600 mg (PO) setiap 12 jam. 4-6 minggu

atau

Minocycline 100 mg (PO) setiap 12 jam. 4-6 minggu.

Quinolone (PO) 4-6 minggu.

 

Entero- bacteriaceae

Ceftriaxone 1 gm (IV) setiap 12 jam. 4-6 minggu

atau

Quinolone

(IV) 4-6 minggu

atau

Tigecycline 100 mg

(IV) × 1 dosis, kemudian

50 mg (IV) setiap 12 jam

4–6 minggu.

Cefotaxime

2 gm (IV) setiap 6 jam.

4-6 minggu

atau

Ceftizoxime

2 gm (IV) setiap 8 jam, 4-6 minggu.

 

 

 

2.

Osteomyelitis

akut

Streptokokus grup A dan B

S . aureus

(MSSA)

E . coli

P . mirabilis K pneumoniae

B . fragilis

 

 

 

 

 

 

 

Patogen diatas/ S. Aureus (MRSA)

Cefazolin 1 gm (IV) setiap 8 jam.  4-6 minggu

atau

Ceftriaxone

1 gm (IV) setiap 24 jam.  4-6 minggu

atau

Meropenem

1 gm (IV) setiap 8 jam. 

4-6 minggu.

 

 

 

Sama seperti diatas

plus

Minocycline

100 mg (IV) setiap 12 jam.

2-4 minggu

atau

Linezolid 600 mg (IV)

Setiap 12 jam. 4-6 minggu.

atau

monoterapi dengan

Tigecycline 200 mg

(IV) × 1 dosis, kemudian 100

mg (IV) setiap 24 jam. 2-4

minggu.

Cefotaxime 2 g

(IV) setiap 6 jam.  4-6 minggu

atau

Ceftizoxime 2 g

(IV) setiap 8 jam. 4-6 minggu

 

 

 

 

 

 

 

 

Minocycline 100 mg (IV) setiap 12 jam. 2-4 minggu

plus

Levofloxacin

500 mg (IV) setiap 24 jam

atau

Ceftriaxone 1 g

(IV) setiap 24 jam. 2-4 minggu

 

 

Clindamycin 300 mg (PO) setiap 8 jam. 4-6 minggu

atau

Cephalexin

1 g (PO) setiap 6 jam . 4-6 minggu.

atau

respiratory quinolone

(PO) setiap 24 jam.

4-6 minggu.

 

 

Minocycline

100 mg (PO)

Setiap 12 jam. 2-4 minggu

plus

Quinolone

(PO) setiap 24 jam. 

2-4 minggu.

Terapi antibiotik

3.

Appendicitis kronis

Entero- baccteriacea B. fragilis

 

Ertapenem 1 g

(IV) setiap 24 jam.

Atau

Ceftazidime/

avibactam 2,5 g

(IV) setiap 8 jam.

Plus

Metronidazole 1 g (IV) setiap 24 jam.

Atau

Tigecycline 200 mg (IV) × 1 dosis, kemudian 100 mg (IV) setiap 24 jam

atau

Meropenem 1 g

(IV) setiap 8 jam.

Ampicillin/

sulbactam 3 g

(IV) setiap 6 jam.

Atau

Doripenem 1 g

(IV) setiap 8 jam.

Atau terapi kombinasi dengan

Metronidazole

1 gm (IV) setiap 24 jam

plus

Ceftriaxone 1 g

(IV) setiap 24 jam

atau

Levofloxacin 500 mg (IV) setiap 24 jam.

Moxifloxacin 400 mg

(PO) setiap 24 jam

atau

Amoxicillin/

clavulanate

875/125 mg (PO) Setiap 12 jam.

 

Terapi antibiotik

4.

Appendicitis Akut

Entero- baccteriacea

B. fragilis

 

Moxifloxacin

400 mg (IV) setiap 24 jam

atau

Cefoxitin 2 g (IV) setiap 6 jam

atau

Piperacillin/

tazobactam 3,375 g (IV) setiap 6 jam.

 

 

Ampicillin/

sulbactam 1,5 g

(IV) setiap 6 jam.

atau

Ceftazidime/

avibactam 2,5 g

(IV) setiap 8 jam

plus

Metronidazole 500 mg (IV) setiap 8 jam

 

Moxifloxacin 400 mg

(PO) setiap 24 jam

atau

Amoxicillin/

clavulanate

875/125 mg (PO) setiap 12 jam

Atau terapi kombinasi dengan

Levofloxacin 500 mg (PO) setiap 24 jam

plus

Clindamycin 300 mg (PO) setiap 8 jam.

Terapi antibiotik

5.

Gangrene

of right foot

 (jaringan

 tubuh

Mengalami

 nekrosis

atau mati)

Streptokokus grup A, Entero-bacteriaceae Streptokokus Anaerobik

S. Aureus (MSSA)

 

 

 

 

 

 

Piperacillin/

tazobactam  3,375 g (IV)

setiap 6 jam × 2 minggu

atau

Ertapenem 1 g

(IV) setiap 24 jam × 2 minggu

Clindamycin 600 mg (IV) setiap 8 jam x  2 minggu

plus

Levofloxacin

500 mg (PO) setiap 24 jam × 2 minggu

 

Clindamycin

300 mg (PO) setiap 8 jam×  2  minggu.  

plus

Levofloxacin 500 mg (IV) setiaap 24 jam x 2 minggu.

Terapi antibiotik

6.

BPH Akut

 

Entero- bacteriaceae

 

Quinolone (IV) × 2 minggu

atau

Ceftriaxone

1 g (IV) setiap 24 jam × 2 minggu.

TMP–SMX

2,5 mg/kg (IV) setiap 6 jam × 2 minggu

atau

Aztreonam

2 g (IV) setiap 8 jam × 2 minggu

Quinolone  (PO) × 2 minggu

atau

Doxycycline

200 mg (PO) setiap 12 jam × 3 hari,

kemudian 100 mg (PO) setiap 24 jam × 11 hari

atau

TMP–SMX 1 SS tablet (PO) Setiap 12 jam × 2 minggu.

Profilaksis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Profilaksis

 

7.

 

 

 

 

 

BPH Kronik

 

 

 

 

 

Entero- bacteriaceae

 

- Quinolone* (PO) × 1–3 bulan atau

TMP–SMX 1 DS tablet (PO) setiap 12 jam × 1–3 bulan.

Fosfomycin 3 gm (PO) setiap 48 jam × 30 hari

+ Doxycycline 100 mg (PO)

 setiap 24 jam × 1–3 bulan.

 

MDR GNB

 

Fosfomycin 3 gm (PO) setiap 48 jam. 30 hari.

+ Doxycycline 100 mg (PO) q24h × 1–3 bulan.

 

 

 

 

8.

Hematothorax

minimal bilateral cc trauma throrax

S. aureus (MSSA)

Cefazolin 1 gm

(IV) × 1 dosis

atau

Ceftriaxone 1 g

(IV) × 1 dosis

Cefotaxime 2 gm

(IV) × 1 dosis

atau

Ceftizoxime 2 g

(IV) × 1 dosis

-

Terapi antibiotik

9.

Open fracture philens of right thumbs (Fraktur terbuka)

S. aureus (MSSA)

Basil GNB aerobik

Ceftriaxone 1 g

(IV) × 1 minggu

Clindamycin 600 mg (IV) setiap 8 jam × 1 minggu

plus

Gentamicin 240 mg (IV) setiap 24 jam × 1 minggu

Merupakan terapi dini, bukan profilaksis sejati. Durasi antibiotik pasca op tergantung pada keparahan infeksi.

 

Profilaksis

 

 

 

10.

Open fracture of left end femur+fractur mandibula+head injury

S. aureus (MSSA)

Basil GNB aerobik

Ceftriaxone 1 gm

(IV) × 1 minggu

Clindamycin 600 mg (IV) setiap 8 jam × 1 minggu

plus

Gentamicin 240 mg (IV) setiap 24 jam × 1 minggu

Merupakan terapi dini, bukan profilaksis sejati. Durasi antibiotik pasca op tergantung pada keparahan infeksi.

 

 

Profilaksis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Profilaksis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Terapi Antibiotik

 

11.

Fraktur (Fraktur terbuka)

S. aureus (MSSA)

Basil GNB aerobik

Ceftriaxone 1 g

(IV) × 1 minggu

Clindamycin 600 mg (IV) setiap 8 jam × 1 minggu

plus

Gentamicin 240 mg (IV) setiap 24 jam × 1 minggu

Merupakan terapi dini, bukan profilaksis sejati. Durasi antibiotik pasca op tergantung pada keparahan infeksi.

 

12.

Benos Multiple cc Facialis

Streptokokus Grup A

H. Influenza

Ceftriaxone 1 g (IV) setiap 24 jam × 2 minggu

atau

Cefotaxime 2 g (IV) setiap 6 jam × 2 minggu

atau

Ceftizoxime 2 g (IV) setiap 8 jam × 2 minggu.

 

Respiratory

Quinolone  (IV)

Setiap 24 jam × 2 minggu

 

Sefalosporin generasi 2 dan 3 PO × 2 minggu

atau

Respiratory quinolone (PO)

Setiap 24 jam × 2 minggu

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

American Society of Health System Pharmacist (AHFS). 2011. Drug Information Essentials, Point of Care Drug Information for Health Care Professions. Maryland. AHFS.

Brunton, L., Parker, K., Blumenthal, D., Buxton, I., 2008. Goodman and Gilman’s Manual of Pharmacology and Therapeutics. New York: Mc Graw Hill Medical.

Burke, Cunha, 2015, Antibiotic Essensials Fourteenth Ed, Jaypee Brothers Medical Publisher, New Delhi, India.

Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2016, Farmakologi dan Terapi Edisi 6, Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009, Undang-undang Republik Indonesia No.44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.

Dertarani, V. 2009. Evaluasi Penggunaan Antibiotik Berdasarkan Kriteria Gyssens di Bagian Ilmu Bedah RSUP DR Kariadi. Karya Tulis Ilmiah. Semarang: Fakultas Kedokteran UNDIP.

Gunawan. 2012. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2016, Peraturan Menteri Kesehatan

          Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011, Pedoman Visite, Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Pemerintah Republik Indonesia Menkes RI. (2016). Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 72 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2406/Menkes/Per/XII/2011 Tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik. Jakarta : Depkes RI.

Setiabudy, R. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi V. Jakarta: Gaya Baru.

Taketomo, C.K., Hodding, and J.H., Kraus, D.M. 2006, Pediatric Dosage Handbook, Lexy comp, Hudson, Ohio.

Tjay, T. H., dan Rahardja, K. 2007. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya. Edisi ke VI. Jakarta: PT Elex Media Komputindo: hal.193.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Comments

Popular posts from this blog

Makalah Sediaan Steril "Salep Mata"

laporan praktikum FARFIS II "Sedimentasi Partikel Suspensi"

Laporan FARFIS II "Fenomena Distribusi"