LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BANDUNG
LAPORAN
PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER
DI RUMAH
SAKIT UMUM DAERAH KOTA BANDUNG
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan, yang dimaksud dengan kesehatan adalah keadaan sehat,
baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap
orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Untuk mewujudkan
keadaan tersebut, diperlukan
suatu upaya kesehatan yang diharapkan mampu mendukung dalam pembangunan dan
pembinaan sumber daya manusia Indonesia sebagai modal bagi pelaksanaan
pembangunan nasional yang pada hakekatnya adalah pembangunan manusia Indonesia
yang seutuhnya dan pembangunan seluruh manusia Indonesia.
Pelayanan kesehatan adalah
suatu alat dan
atau tempat yang
digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan,
baik peningkatan kesehatan (promotif),
pencegahan penyakit (preventif),
penyembuhan
penyakit (kuratif)
maupun pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Upaya pelayanan
kesehatan yang bersifat menyeluruh dan terpadu dalam rangka mencapai pembangunan kesehatan dapat di lakukan melalui sarana
pelayanan kesehatan,
salah satunya adalah
rumah sakit.
Rumah Sakit adalah institusi pelayanan
kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna
yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 58 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit yang
dimaksud dengan Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan
bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan
maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Pelayanan farmasi rumah
sakit merupakan salah satu kegiatan
di rumah sakit yang menunjang pelayanan kesehatan yang bermutu bagi pasien. Berdasarkan Permenkes
No.72 Tahun 2016, Pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
system
pelayanan kesehatan rumah sakit yang
berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan sediaan farmasi, alat kesehatan,
Dan bahan medis habis pakai yang bermutu dan terjangkau bagia semua lapisan masyarakat termasuk pelayanan farmasi klinik (Kemenkes RI,
2016).
Instalasi farmasi dipimpin oleh seorang
Apoteker sebagai penanggung jawab. Apoteker dituntut untuk merealisasikan perluasan paradigma Pelayanan
Kefarmasian dari orientasi produk (product oriented)
menjadi orientasi pasien
(patient oriented). Untuk itu kompetensi
Apoteker perlu ditingkatkan secara
terus menerus agar perubahan paradigma tersebut dapat diimplementasikan.
Dalam upaya
meningkatkan kompetensi apoteker dalam menjalankan peran dan fungsi
apoteker di rumah sakit serta dalam bekerja sama dengan profesi kesehatan lainnya, maka Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas
Jenderal Achmad Yani bekerja
sama dengan Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bandung
menyelenggarakan Praktek Kerja
Profesi Apoteker
(PKPA) bagi para calon apoteker. Keberhasilan program PKPA ini tidak hanya tergantung pada penguasaan
teoritis tetapi juga pada aplikasi ilmu farmasi yang
telah diperoleh yang
akan
berwujud
sebagai kompetensi klinis dan manajerial
seorang apoteker.
Program
PKPA ini diharapkan mampu
memberikan pengenalan pekerjaan
kefarmasian di rumah sakit. Mahasiswa
sebagai calon Apoteker diharapkan dapat
menerapkan teori yang pernah didapatkan selama duduk
dibangku perkuliahan
untuk diimplementasikan kedalam dunia kerja, sehingga diharapkan dengan adanya
program PKPA ini mampu membentuk Apoteker yang berkompenten untuk bekerja di rumah
sakit.
1.2 Tujuan Praktik Kerja Profesi
Apoteker
Tujuan Praktik
Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di rumah sakit bagi mahasiswa tingkat profesi
apoteker adalah :
1.
Meningkatkan pemahaman calon
apoteker tentang peran, fungsi, posisi dan tanggung jawab apoteker dalam
pelayaan kefarmasian di rumah sakit.
2.
Membekali calon apoteker agar
memiliki wawasan, pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman praktis untuk
melakukan pekerjaan kefarmasian di rumah sakit.
3.
Memberi kesempatan kepada calon
apoteker untuk melihat dan mempelajari startegi dan kegiatan-kegiatan yang
dapat dilakukan dalam rangka pengembangan praktif farmasi komunitas di rumah
sakit.
4.
Mempersiapkan calon apoteker
dalam memasuki dunia kerja sebagai tenaga farmasi yang professional.
5.
Memberi gambaran nyata tentang
permasalahan pekerjaan kefarmasian di rumah sakit.
1.3
Pelaksanaan Praktik Kerja Profesi Apoteker
Kegiatan PKPA
dilaksanakan selama 1 bulan, mulai tanggal 1 Agustus sampai dengan 31 Agustus
2019 bertempat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Bandung yang berlokasi di
Jalan Rumah Sakit Nomor 22, Ujungberung, Kota Bandung.
BAB II
TINJAUAN RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
KOTA BANDUNG
2.1. Rumah Sakit Umum Daerah Kota
Bandung
2.1.1. Jenis dan Klasifikasi RSUD Kota
Bandung
RSUD Kota Bandung berdasarkan KARS-SERT/499/V/2019 tentang Penetapan status akreditasi Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bandung
sebagai Rumah Sakit Tingkat Utama Kelas B.
2.1.2. Struktur Organisasi RSUD Kota
Bandung
Struktur organisasi di Rumah
Sakit Umum Daerah Kota Bandung terdiri dari: Direktur, Komite Medik, SPI, SMF,
Bagian Umum dan Keuangan, Bidang Pelayanan Medis dan Keperawatan, Bidang
Penunjang Medis, Bidang Program dan Pemasaran. Pada masing-masing jabatan
tersebut, terdapat pembagian yang lebih terperinci, tertera pada Lampiran 1,
Gambar I.1.
2.1.3. Akreditasi RSUD Kota Bandung
Rumah Sakit Umum Daerah Kota
bandung pada tahun 2019 terakreditasi dengan Lulus Tingkat Utama (bintang empat)
berdasarkan Sertifikat Akreditasi Rumah Sakit) Nomor KARS-SERT/499/V/2019.
2.1.4. Tim Farmasi dan Terapi
Tim Farmasi dan Terapi (TFT) Rumah
Sakit Umum Daerah Kota Bandung dipimpin oleh seorang dokter, sekretaris adalah
seorang apoteker, beranggotakan apoteker dan dokter dari tiap departemen serta
perawat. Tim Farmasi dan Terapi (TFT) dibentuk untuk meningkatkan mutu
pelayanan RSUD Kota Bandung melalui standarisasi/penggunaan obat yang efektif,
aman dan rasional.
2.2. Instalasi Farmasi RSUD Kota
Bandung
2.2.1. Tugas dan Fungsi
Instalasi Farmasi RSUD Kota
Bandung bertugas sebagai pengelolaan dan pelayanan. Bagian pengelolaan
mempunyai fungsi mengelola semua perbekalan farmasi yang ada di RSUD Kota
Bandung, sedangkan bagian pelayanan mempunyai fungsi utama melakukan pelayanan
kefarmasian kepada masyarakat.
2.2.2. Struktur Organisasi Instalasi
Farmasi RSUD Kota Bandung
Dalam rangka meningkatkan mutu
pelayanan farmasi pada RSUD Kota Bandung dipandang perlu menetapkan Struktur
Organisasi dan Tata Kerja Instalasi Farmasi. Komponen yang terdapat dalam
struktur organisasi dan tata kerja Instalasi Farmasi pada RSUD Kota Bandungt
terdiri atas: Kepala Instalasi Farmasi, Administrasi, Kepala Unit Pengelolaan Perbekalan Farmasi,
Kepala Unit Pelayanan Farmasi dan Farmasi Klinik dan Manajemen Mutu. Pada
masing-masing jabatan tersebut, terdapat pembagian yang lebih terperinci,
tertera pada Lampiran 2, Gambar II.1.
2.2.3. Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia berupa tenaga
kefarmasian di Instalasi Farmasi RSUD Kota Bandung terdiri dari 10 orang
apoteker dan 32 orang tenaga teknis kefarmasian.
2.2.4. Sarana dan Prasarana
Fasilitas yang terdapat di instalasi farmasi
RSUD Kota Bandung yaitu ruang tunggu yang dilengkapi dengan kursi, ruang
pelayanan dan penyerahan resep atau obat, ruang peracikan dan tempat
penyimpanan obat, ruang kerja khusus untuk kepala instalasi farmasi, ruang
produksi (mixing), ruang administrasi yang dilengkapi dengan computer,
gudang farmasi dan fasilitas toilet dan kamar mandi.
Peralatan yang terdapat di
instalasi farmasi RSUD Kota Bandung antara lain peralatan kantor untuk
administrasi, peralatan peracikan, peralatan untuk penyimpanan (lemari/rak,
lemari penyimpanan khusus untuk narkotika dan psikotropika, lemari pendingin
dan pendingin ruangan untuk obat termolabil), peralatan pendistribusian,
peralatan ruang informasi obat dan alat komunikasi.
2.3.
Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai
Pengelolaan sediaan farmasi, alat
kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) di Rumah Sakit menurut Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit merupakan tanggung jawab seorang apoteker.
Pengelolaan perbekalan farmasi di RSUD Kota Bandung merupakan suatu siklus
kegiatan meliputi: pemilihan, perencanaan kebutuhan, pengadaan, penerimaan,
penyimpanan, pendistribusian, pemusnahan dan penarikan, pengendalian,
administrasi dan pelaporan yang diperlukan bagi kegiatan Pelayanan Kefarmasian.
2.3.1. Pemilihan
Pemilihan merupakan
suatu kegiatan untuk menetapkan jenis sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP
sesuai dengan kebutuhan rumah sakit. Pemilihan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai ini berdasarkan
formularium dan standar pengobatan/pedoman diagnosa dan terapi, juga
berdasarkan standar sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai yang telah ditetapkan. Selain itu, proses pemilihan juga mempertimbangkan
pola penyakit, efektivitas dan keamanan, pengobatan berbasis bukti, mutu,
harga, dan ketersediaan di pasaran. Pemilihan obat di RSUD dilakukan oleh panitia
Farmasi dan Terapi (PFT) berdasarkan panduan yang tercantum dalam Formularium
Nasional, DOEN dan ditambah dengan obat lain (diluar Fornas dan DOEN) yang
diperlukan di Rumah Sakit dibuat dalam bentuk Formulairum Rumah Sakit. Obat
untuk pasien BPJS dipilih berdasarkan acuan obat yang ada di Formularium
Nasional dan yang ada di e-catalogue.
2.3.2. Perencanaan Kebutuhan
Perencanaan perbekalan farmasi di RSUD Kota
Bandung dilakukan oleh bagian perencanaan atas usulan bagian gudang farmasi.
Metode yang digunakan dalam perencanaan kebutuhan adalah metode konsumsi dengan
mempertimbangkan hal-hal yaitu anggaran yang tersedia; penetapan prioritas;
sisa persediaan; dan data pemakaian periode yang lalu; waktu tunggu pemesanan;
dan rencana pengembangan. Kegiatan perencanaan meliputi usulan Rencana
Kebutuhan Barang Unit (RKBU), obat-obatan, alat kesehatan dan Barang Habis
Pakai (BHP). Perencanaan perbekalan farmasi di IFRS RSUD Kota Bandung dibagi
menjadi dua, yaitu :
1.
Rencana jangka panjang
Rencana jangka panjang dilakukan tiap tahun berdasarkan metode konsumsi
atau pemakaian periode sebelumnya.
2.
Rencana jangka pendek
Rencana
jangka pendek dilakukan perminggu dengan
memperhatikan jumlah barang yang kosong pada saat itu. Jika terdapat
kekosongan barang maka akan dibuat defekta kemudian dilakukan perencanaan lalu
pengadaan barang.
2.3.3. Pengadaan
Proses pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan
Bahan Medis Habis Pakai di IFRS RSUD Kota Bandung dilakukan oleh bagian Unit
Layanan Pengadaan (ULP). Pengadaan dapat dilakukan dengan pembelian, produksi
sediaan farmasi dan sumbangan/hibah.
1. Pembelian perbekalan farmasi di IFRS RSUD Kota Bandung
berdasarkan dua sumber dana yaitu APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah)
serta BLUD (Badan Layanan
Umum Daerah). Pengadaan
dengan dana APBD dibelanjakan sesuai dengan dana APBD
yang diperoleh dari pemerintah. Sedangkan pengadaan dengan dana BLUD, pengadaan
langsung menggunaakan dana dari Rumah Sakit.
2. Produksi sediaan farmasi yang telah dilaksanakan di
RSUD Kota Bandung meliputi pengemasan kembali H2O2 3% kemasan 10 mL dan sol acid salisilat 1%
(apabila terdapat permintaan resep).
3. Sumbangan/hibah adalah program pemerintah untuk
pengendalian penyakit yang dicanangkan oleh pemerintah, seperti paket TBC
(OAT), obat ARV, Obat Kusta, Obat malaria, Vaksin dan Obat Program BKKBN.
Sedangkan pengadaan obat-obat narkotika dan
psikotropika melalui tahapan sebagai berikut:
1. Obat golongan narkotika dan psikotropika dipesan
dengan menggunakan surat pesanan khusus (Format N9) yang ditandatangani oleh
Apoteker dengan mencantumkan nomor SIK. Bentuk surat pesanan narkotika dan
psikotropika terdapat pada Lampiran 3 dan Lampiran 4.
2. Surat pesanan dikirim langsung pada distributor khusus
narkotika yaitu PT. Kimia Farma Tbk.) dan untuk golongan psikotropika dipesan
ke distributor khusus yang ditunjuk.
3. Surat pesanan narkotika dibuat rangkap empat dengan
warna yang berbeda-beda yaitu warna putih, kuning, biru dan merah. Setiap surat
pesanan narkotika hanya memuat satu jenis narkotika. Sedangkan surat pesanan
psikotropika terdiri dari dua rangkap. Surat pesanan psikotropika dapat diisi
lebih dari 1 macam jenis obat dan maksimal berisi 7 jenis obat psikotropika.
4. Khusus untuk obat-obatan narkotika, pembeliannya
dilakukan secara tunai.
2.3.4. Penerimaan
Penerimaan perbekalan farmasi
dilakukan berdasarkan hasil pengadaan sebelumnya oleh Instalasi Farmasi RSUD
Kota Bandung dilakukan berdasarkan pengadaan secara dana APBD dan dana BLUD.
Ketika barang yang tiba di Gudang, harus di cek terlebih dahulu undangan usulan
yang dibuat, dilanjutkan dengan pengecekan SP (Surat Pemesanan), dan faktur
(cek jenis barang, jumlah, harga, kemasan, sediaan, nomor batch dan waktu
kadaluarsa, serta keadaan fisik). Masa kadaluarsa perbekalan farmasi juga
dicek, untuk sediaan slow moving minimal 2 tahun, fast moving minimal
1 tahun, dan obat life-saving 1 tahun.
2.3.5.
Penyimpanan
Penyimpanan merupakan suatu
kegiatan menyimpan dan memelihara dengan cara menempatkan perbekalan farmasi
yang diterima pada tempat yang dinilai aman dari gangguan fisik yang dapat
merusak mutu perbekalan farmasi tersebut. Penyimpanan harus dapat menjamin
kualitas dan keamanan perbekalan farmasi sesuai dengan persyaratannya
(persyaratan stabilitas dan keamanan, sanitasi, cahaya, kelembaban, ventilasi,
dan penggolongan perbekalan farmasi).
Penyimpanan di gudang farmasi
disusun berdasarkan bentuk sediaan, alfabetis, sumber dana, serta kriteria fast
moving dan slow moving. Selain itu, terdapat penyimpanan alat kesehatan,
kabinet khusus dua pintu dan dua kunci untuk obat golongan narkotika dan
psikotropika, obat high alert, obat LASA, dan lemari pendingin untuk
sediaan termostabil. Penyimpanan juga dilakukan dengan metode FIFO FEFO untuk
mengurangi resiko obat tidak terpakai karena terlanjur kadaluarsa.
Cara penyimpanan perbekalan farmasi di setiap
depo farmasi dan gudang farmasi RSUD Kota Bandung dilaksanakan dengan kondisi
sebagai berikut :
1.
Sediaan tablet/kapsul di simpan
di rak atau lemari tertentu dan disusun berdasarkan alfabetis
2.
Sediaan sirup, drop, krim, salep di
simpan pada rak/lemari terpisah sesuai bentuk sediaan secara alfabetis.
3.
Obat narkotika dan psikotropika
di simpan di lemari khusus dengan pintu ganda yang terkunci.
4.
Perbekalan Farmasi lainnya yang
memerlukan suhu 2-80C di simpan dalam lemari pendingin.
5.
Obat High Alert di simpan
pada area yang dibatasi ketat (restricted), diberi tanda merah, serta
diberi stiker bertuliskan “HIGH ALERT” hingga pada kemasan terkecil.
6.
Obat yang memiliki nama ucapan
dan bentuk yang mirip (NORUM/LASA) “Tidak Boleh” di letakkan berdekatan
walaupun terletak dalam kelompok abjad yang sama, harus diselingi dengan
sedikitnya 2 (dua) obat yang bukan kategori LASA di antara atau di tengahnya
dan diberi stiker hijau bertuliskan “LASA”.
7.
Bahan-bahan berbahaya di simpan
di rak dan di susun berdasarkan alfabetis.
8.
Alat atau bahan habis pakai di
simpan pada ruangan tersendiri.
9.
Cairan infus dalam
kemasannya/karton diletakkan di lantai yang telah diberi alas berupa palet.
2.3.6. Pendistribusian
Pendistribusian yang
dilakukan oleh Instalasi Farmasi RSUD Kota Bandung dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Dari Gudang ke Instalasi Farmasi
Pendistribusian ini
dilakukan dari gudang ke Instalasi Farmasi seperti instalasi rawat jalan, rawat
inap, depo OK dan depo IGD. Pendistribusian ini dilakukan setiap hari. Barang
yang diberikan berdasarkan bon permintaan barang dari masing- masing unit.
2. Dari Gudang ke Poliklinik/Ruang Perawatan
Proses pendistribusian
dari gudang ke poliklink/ruang perawatan dilakukan setiap 2 minggu sekali.
Kebanyakan barang yang didistribusikan berupa Barang Habis Pakai (BHP).
3. Dari Instalasi Farmasi ke Pasien
Distribusi perbekalan
farmasi untuk pelayanan pasien yang dalam proses terapi di RSUD Kota Bandung
dibagi menjadi:
a) Distribusi perbekalan farmasi untuk pasien rawat inap
Distribusi perbekalan
farmasi untuk pasien rawat inap di RSUD Kota Bandung terdiri dari 3 sistem
pendistribusian, yaitu:
1) Sistem Resep Perorangan (Individual receipt)
Sistem resep perorangan
ini dapat diberikan kepada pasien berdasarkan resep dokter. Obat-obatan tidak
tersedia di ruang perawatan sehingga harus langsung diambil di Instalasi
Farmasi (depo farmasi rawat inap). Biasanya sistem ini berlaku untuk pasien
pulang.
2) Sistem One Day
Dose (ODD)
Sistem One Day Dose
(ODD) merupakan metode penyiapan dan pengendalian obat yang dikoordinasikan
oleh bagian Instalasi Farmasi disediakan pada ruang perawatan pasien untuk
setiap penggunaan perharinya. Sistem ini sudah diberlakukan untuk seluruh
pasien rawat inap di RSUD Kota Bandung.
3) Sistem Persediaan di Ruang Perawatan (Trolley Emergency)
Dalam sistem persediaan
di ruang perawatan di setiap lantai, obatobatan disimpan di ruang perawatan dan
dapat diberikan sewaktuwaktu kepada pasien dalam jumlah dan jenis terbatas
untuk kebutuhan satu periode tertentu. Biasanya terdiri dari jenis obat obatan life saving yang digunakan untuk gawat darurat
dan harus selalu tersedia
karena diperlukan dalam keadana
emergency.
4) Sistem Unit Dose
Dispensing (UDD)
Sistem Unit Dose
Dispensing merupaka sistem distribusi dengan peresepan perorangan yang disiapkan
dalam unti tunggal/ganda untuk penggunaan 1 kali oleh pasien. sistem ini hanya
berlaku pada ruang Anggrek A.
b) Distribusi perbekalan farmasi untuk pasien rawat jalan
Distribusi
perbekalan farmasi untuk pasien rawat jalan di RSUD Kota Bandung dilakukan
dengan sistem resep perorangan (individual
receipt) yaitu obat- obatan serta alat kesehatan disimpan di depo Instalasi
Farmasi, sehingga pasien dapat mengambil langsung di ruang pelayananan atau
depo instalasi farmasi rawat jalan sesuai dengan resep dokter.
2.3.7. Pemusnahan dan Penarikan
Penarikan dan pemusnahan dilakukan untuk sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai bila produk tidak memenuhi persyaratan mutu, telah
kadaluarsa, tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam pelayanan kesehatan
atau kepentingan ilmu pengetahuan, atau telah dicabut izin edarnya. Kegiatan
pemusnahan dilakukan sebagai berikut:
1. Pengusulan kegiatan pemusnahan oleh IFRS kepada
direktur RS.
2. Setelah disetujui, direktur membuat disposisi ke
bagian KESLING (Kesehatan Lingkungan) sebagai limbah B3 (Bahan Bebahaya dan
Beracun)
3. Bagian KESLING akan berkoordinasi dengan pihak ketiga
untuk pemusnahan dengan insenerator.
2.3.8. Pengendalian
Kegiatan Pengendalian sediaan farmasi, alat kesehatan dan Bahan
Medis Habis Pakai dilakukan oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit dengan melakukan
Stock Opname setiap 3 bulan sekali, pengecekan stok 5 wajib disemua ruangan
Instalasi Farmasi (Gudang farmasi, Instalasi Farmasi Rawat Jalan, Instalasi
Farmasi Rawat Inap, Depo Ok, dan Depo IGD).
2.3.9. Administrasi
Administrasi dilakukan dengan
tertib untuk memudahkan penelusuran kegiatan yang sudah berlalu. Kegiatan
administrasi di Instalasi Farmasi RSUD Kota Bandung meliputi pencatatan dan
pelaporan terhadap kegiatan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai yang meliputi pemilihan, perencanaan kebutuhan,
pengadaan, penerimaan, pendistribusian, pengendalian persediaan, pengembalian,
pemusnahan dan penarikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai, administrasi keuangan, dan penghapusan.
Administrasi
di Instalasi Farmasi RSUD Kota Bandung antara lain:
1. Laporan Pendapatan/Keuangan
2. Laporan Narkotika dan Psikotropika
3. Laporan Generik dan Non Generik
4. Laporan Pasien ARV
5. Laporan F31 (Formulasi 31 Hari)
6. Laporan jumlah resep
7. Laporan Stok Opname
2.4. Pelayanan Farmasi Klinik di RSUD
Kota Bandung
2.4.1. Pengkajian dan Pelayanan Resep
Pelayanan diresepkan oleh dokter sesuai dengan efek terapetik
masing-masing obat tersebut dan meminimalisir interaksi obat baik yang bersifat
sinergis maupun antagonis dan yakin bahwa obat yang diterima pasien aman untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien. Selama melakukan PKPA, mahasiswa melakukan
pengkajian resep di depo farmasi rawat inap dan rawat jalan. Pengkajian resep
yang lebih ditekankan untuk dilakukan oleh mahasiswa PKPA yaitu aspek
klinisnya, untuk aspek administrasi dan farmasetik dilakukan oleh asisten dan
apoteker yang bertugas. Ketika terdapat kajian yang tidak sesuai seperti dosis
berlebih/kurang, adanya interaksi obat, duplikasi terapi atau kombinasi
antagonis maka segera dilaporkan kepada apoteker yang bertugas untuk
selanjutnya dilakukan konsultasi kepada dokter.
2.4.2. Penelusuran Riwayat Penggunaan
Obat
Penelusuran riwayat penggunaan
obat merupakan proses untuk mendapatkan informasi mengenai seluruh obat/sediaan
farmasi lain yang pernah dan sedang digunakan pasien. Penelusuran riwayat
penggunaan obat ini dilakukan pada pasien baru dengan cara melakukan wawancara
sejarah obat (WSO). Adapun yang ditanyakan dalam wawancara tersebut diantaranya
yaitu keluhan secara umum, alergi (obat, makanan, cuaca), riwayat penggunaan
obat, riwayat penyakit, riwayat keluarga, dan pola hidup/kebiasaan (merokok,
minum kopi, teh, suplemen, obat herbal, dll). Hasil wawancara tersebut dicatat
di dalam status pasien.
2.4.3. Rekonsiliasi Obat
Rekonsiliasi obat
merupakan proses membandingkan instruksi pengobatan dengan obat yang telah
didapat pasien. Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan obat
(medication error) seperti obat tidak diberikan, duplikasi, kesalahan dosis
atau interaksi obat.. Di RSUD Kota Bandung kegiatan rekonsiliasi obat dilakukan oleh
apoteker, khususnya di instalasi rawat inap. Rekonsiliasi obat dilakukan ketika
pasien baru masuk ke ruangan dan ketika pasien akan pulang. Apoteker akan
menanyakan obat yang sedang dikonsumsi agar dokter tidak meresepkan obat yang
sama (mencegah duplikasi) dan akan mempertimbangkan apakah obat yang sedang
digunakan akan dilanjutkan atau dihentikan pemakaiannya.
2.4.4. Pelayanan Informasi Obat
Pelayanan informasi obat (PIO)
yang dilakukan di RSUD Kota Bandung telah sesuai dengan peraturan yang berlaku,
dimana pelayanan informasi obat dilakukan disetiap pusat pelayanan kefarmasian
baik di instalasi rawat inap maupun rawat jalan. Selama PKPA, mahasiswa PKPA
diberikan kesempatan untuk melakukan PIO baik di ruang rawat inap dan rawat
jalan. Untuk pasien rawat inap PIO dilakukan di depo farmasi rawat inap, PIO
dilakukan kepada pasien/keluarga pasien pulang. Sedangkan di depo rawat jalan,
PIO dilakukan kepada pasien pada saat penyerahan obat. Adapun PIO yang
dilakukan selama PKPA diantaranya yaitu PIO mengenai aturan minum obat,
kegunaan obat dan cara penggunaan alat khusus. Selain itu juga dilakukan PIO
dengan bentuk PKRS (Promosi Kesehatan Rumah Sakit), brosur, dan leaflet/flyer.
2.4.5. Konseling
Pelayanan konseling di RSUD Kota
Bandung terutama diberikan kepada pasien dengan polifarmasi, pasien yang
menggunakan obat-obatan dengan instruksi khusus (seperti inhaler,
suppositoria), atau pasien yang membutuhkan kepatuhan yang tinggi dalam
mengonsumsi obat (seperti pasien HIV dan pasien tuberkulosis). Di rumah sakit
RSUD Kota Bandung, konseling dilakukan pada pasien rawat jalan dan rawat inap.
Pada pasien rawat inap di Rumah Sakit RSUD Kota Bandung, dilakukan pada pasien
yang akan pulang.
2.4.6. Visite
Visite
adalah kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan oleh Apoteker
secara mandiri atau visite tim/medis yang dilakukan bersama tenaga kesehatan
lainnya. Visite mandiri adalah kegiatan kunjungan ke ruang perawatan pasien
yang dilakukan oleh apoteker sendiri.
Visite
yang dilakukan di RSUD Kota Bandung yaitu visite tim/medis dan visite mandiri
pada pasien yang dilihat berdasarkan urutan prioritas yaitu gangguan fungsi
ginjal, gangguan fungsi hati, pasien yang mendapat obat dengan indeks terapi
sempit dan pasien
dengan nilai laboratorium kritikal
(hipokalemia dan hipoalbumin). Persiapan
yang dilakukan sebelum
visite yaitu mengumpulkan informasi mengenai kondisi
pasien serta memeriksa terapi obat pada rekam medik. Sedangkan kegiatan yang
dilakukan pada saat visite mandiri
melakukan wawancara kepada
pasien atau keluarga
pasien untuk mengetahui riwayat
penyakit, riwayat penggunanaan obat, alergi obat dan keluhan yang dirasakan
pasien, melakukan konseling pasien terkait obat yang diterimanya serta
memastikan bahwa pasien telah mengonsumsi obatnya dengan rutin dan benar.
2.4.7. Pemantauan Terapi Obat
Pemantauan Terapi Obat (PTO)
adalah suatu kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan
rasional bagi pasien dengan cara memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek
samping. Pemantauan Terapi Obat (PTO) di RSUD Kota Bandung dilaksanakan oleh
apoteker dan baru dilaksanakan di beberapa ruangan. Metode yang digunakan dalam
pemantauan terapi obat adalah SOAP (Subjective, Objective, Assessment, Plan).
Pada saat pelaksanaan, apoteker
mendokumentasikan kegiatan tersebut dalam form khusus PTO kemudian
diintegrasikan dengan catatan tenaga medis lain dalam CPPT (Catatan Pengobatan
Pasien Terintegrasi). Kegiatan dalam PTO mencakup pengkajian pemilihan obat,
dosis, cara pemberian obat, respon terapi, reaksi obat tidak diinginkan (ROTD),
interaksi obat pemberian rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat, dan
pemantauan efektivitas dan efek samping terapi obat.
2.4.8. Monitoring Efek Samping Obat
Monitoring efek samping obat
(MESO) merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang tidak
dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim yang digunakan pada manusia untuk
tujuan profilaksis, diagnosa dan terapi. Efek samping obat adalah reaksi obat
yang tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja farmakologi. Selama PKPA di
RSUD Kota Bandung, kegiatan MESO dilakukan pada pasien rawat inap pada saat visite
dengan cara wawancara pasien terkait efek samping obat yang mungkin timbul
dari obat yang digunakan oleh pasien.
2.4.9. Evaluasi Penggunaan Obat
Di RSUD Kota Bandung kegiatan evaluasi
penggunaan obat (EPO) dilakukan di instalasi rawat inap dengan cara
dilakukannya visite (baik itu visite mandiri maupun visite
medis), dimana dilakukan pemantauan terhadap pasien dengan cara melihat kondisi
pasien dan dilakukannya wawancara. Kegiatan EPO terutama dilakukan terhadap
pasien yang mendapat obat polifarmasi dimana rentan terjadinya interaksi obat
dan juga efek samping obat yang tidak diharapkan.
2.4.10.
Dispensing Sediaan Streil
Dispensing
sediaan steril harus dilakukan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit dengan teknik
aseptik untuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan melindungi petugas
dari paparan zat berbahaya serta menghindari terjadinya kesalahan pemberian
obat. Di RSUD Kota Bandung belum melakukan dispensing sediaan steril karena
keterbatasan peralatan dan SDM.
2.4.11.
Pemantauan Kadar Obat dalam Darah
Pemantauan Kadar Obat dalam
Darah (PKOD) merupakan interpretasi hasil pemeriksaan kadar obat tertentu atas
permintaan dari dokter yang merawat karena indeks terapi yang sempit atau atas
usulan dari apoteker kepada dokter. Di RSUD juga belum dilakukan PKOD karena
keterbatasan alat dan SDM.
BAB III
TUGAS KHUSUS
PEMILIHAN ANTIBIOTIK UNTUK KASUS BEDAH MENURUT
BURKE CUNHA
3.1 Pendahuluan
3.1.1 Latar Belakang
Infeksi merupakan salah satu penyebab kematian dan
kesakitan di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya di
Indonesia. Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering adalah infeksi
oleh bakteri (Aulia, 2017). Obat untuk
mengatasi masalah tersebut adalah obat antimikroba seperti antibakteri atau
antibiotik,. Antibiotik adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan
bakteri, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman (Tjay
dan Rahardja, 2007).
Antibiotika merupakan golongan obat yang paling banyak
digunakan di dunia. Lebih dari seperempat anggaran rumah sakit dikeluarkan
untuk biaya penggunaan antibiotika. Dinegara yang sudah maju 13–37% dari
seluruh penderita yang dirawat di rumah sakit mendapatkan antibiotika baik
secara tunggal maupun kombinasi, sedangkan dinegara berkembang 30-80% penderita
yang dirawat di rumah sakit mendapat antibiotika (Dertarani, 2009).
Pada
penelitian tentang kualitas penggunaan antibiotik di berbagai bagian rumah sakit ditemukan
30-80% tidak didasarkan pada indikasi yang
tepat (Kemenkes RI, 2011a). Sebuah penelitian di Kosta Rika
menunjukkan 40% dari 500 pasien anak di suatu rumah sakit mendapatkan
antibiotik yang tidak rasional (Mora et al., 2002). Secara umum, peresepan antibiotik sering suboptimal, tidak hanya
di negara berkembang, namun juga di negara maju (Van der Meer dan Gyssens, 2001; Mettler et al.,
2007; Kristiansson et al., 2009; Sahoo et al., 2010).
Berdasarkan penelitian mengenai pola penggunaan antibiotika di Indonesia
yang dilakukan oleh Hadi et al. kurang lebih 84% pasien di beberapa
rumah sakit pendidikan di Indonesia mendapat antibiotika (Hadi et al., 2008;
Widayati et al., 2011).
Sekitar 53% dari jumlah tersebut mendapat antibiotika untuk terapi, 15% untuk
profilaksis dan 32% tidak jelas tujuannya. Dilaporkan pula bahwa bila
diperhatikan dari aspek rasionalitas pemberian antibiotika, hanya 21% peresepan
antibiotika memang tepat (rasional), 15% tidak tepat dalam hal pemilihan jenis
antibiotika, tidak tepat dosis atau durasinya dan 42% tidak tepat indikasi (Hadi et al., 2008;
Widayati et al., 2011).
Hal ini menunjukkan cukup tingginya irasionalitas dalam peresepan antibiotika
di Indonesia.
Penelitian lain telah dilakukan oleh Antimicrobial Resistance in Indonesia Prevalence and
Prevention di RSUD Dr.
Soetomo Surabaya dan RSUP Dr Kariadi Semarang tahun 2002 yang menunjukkan
bahwa sebanyak 83% pasien mendapat
antibiotik yang tidak
rasional dengan persentase sebesar
60%. Hasil penilaian
kualitas penggunaan antibiotik di RSUP Dr Kariadi antara lain 19-76%
tidak ada indikasi, 9-45% tidak tepat
(dosis, jenis, dan lama pemberian) dan 1-8% tidak ada indikasi profilaksis. Di
bagian bedah, tingkat penggunaan antibiotik yang
rasional kurang dari 20%. (Dertarani,
2009). Selain itu, berdasarkan
suatu survei dilakukan di RS Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta menunjukkan bahwa
76,8% penggunaan antibiotik untuk profilaksis bedah adalah tidak rasional dalam
hal indikasi atau lama pemberian (Pamela,
2011).
Tingginya prevalensi penggunaan antibiotik yang tidak
rasional dapat menyebabkan kejadian resistensi. Dampak lain dari penggunaan
antibiotik yang tidak rasional yaitu meningkanya toksisitas dan efek samping
antibiotik tersebut yang menyebabkan biaya perawatan lebih meningkat.
Berdasarkan uraian tersebut, perlu dilakukannya pemilihan antibiotik untuk
kasus bedah dengan acuan menurut Burke Cunha untuk mengetahui kualitas
penggunaan antibiotik. Pemilihan ini diharapkan dapat menjadi referensi dan
sebagai bahan kajian bagi RSUD Kota Bandung dalam meningkatkan pelayanan
kesehatan kepada pasien.
3.1.2 Tujuan
Untuk mengetahui pemilihan antibiotik yang tepat untuk
kasus bedah menurut Burke Cunha sebagai upaya untuk memberikan pengobatan yang
optimal kepada pasien.
3.2 Tinjauan Pustaka
3.2.1 Antibiotik
i) Definisi Antibiotik
Pengertian antibiotik secara sempit adalah senyawa
yang dihasilkan oleh berbagai jenis mikroorganisme (bakteri, fungi) yang
menekan pertumbuhan mikroorganisme lainnya. Namun penggunaannya secara umum
sering kali memperluas istilah antibiotik hingga meliputi senyawa antimikroba
sintetik, seperti sulfonamide dan kuinolon (Hardman dan Limbird, 2008).
Antibiotik adalah obat yang digunakan untuk mengatasi
infeksi bakteri. Antibiotik bisa bersifat bakterisid (membunuh bakteri) atau
bakteriostatik (mencegah berkembangnya bakteri) (Permenkes, 2011).
ii) Penggolongan Antibiotik
a. Berdasarkan
struktur kimia antibiotik
Berdasarkan
struktur kimianya, antibiotika dikelompokkan sebagai berikut (Tjay, 2007):
1) Golongan Beta-Laktam, antara lain golongan
sefalosporin (sefaleksin, sefazolin, sefuroksim, sefadroksil, seftazidim),
golongan monosiklik, dan golongan penisilin (penisilin, amoksisilin).
2) Golongan aminoglikosida dengan spektrum kerjanya luas
yang sensitive terhadap bakteri Gram negatif dan Gram positif. Aktifitasnya
adalah bakterisid, berdasarkan dayanya untuk menembus dinding bakteri dan
mengikat diri pada ribosom di dalam sel. Contohnya streptomisin, gentamisin,
amikasin, neomisin, dan paranomisin.
3) Golongan tetrasiklin yang bersifat bakteriostatis
spectrum luas. Mekanisme kerjanya berdasarkan penghambatan sintesis protein
bakteri. Contohnya tetrasiklin, doksisiklin, dan monosiklin.
4) Golongan sulfonamid dan trimethoprim dengan mekanisme
kerja yaitu menghambat sintesis asam folat bakteri sehingga basa purin dan DNA
tidak terbentuk.
5) Golongan makrolida bersifat bakteriostatis. Mekanisme
kerjanya melalui pengikatan reversibel pada ribosom bakteri sehingga sintesa
protein terhambat. Bila digunakan terlalu lama atau sering dapat menyebabkan
resistensi.
6) Golongan linkomisin bersifat bakteriostatis dengan
spektrum kerja lebih sempit daripada makrolida, terutama terhadap kuman gram
positif dan anaerob. Antibiotik ini hanya digunakan bila terdapat resistensi
terhadap antibiotik lain disebabkan karena efek sampingnya yang besar.
Contohnya antibiotik ini adalah linkomisin.
7) Golongan kuinolon bersifat bakterisid pada fase
pertumbuhan bakteri, berdasarkan inhibisi terhadap enzim DNA-gyrase bakteri,
sehingga sintesis DNAnya tidak terjadi. Golongan ini hanya dapat digunakan pada
infeksi saluran kemih (ISK) tanpa komplikasi.
8) Antibiotik golongan kloramfenikol dengan spektrum luas
yang bersifat bakteriostatis terhadap hampir semua bakteri Gram positif dan
Gram negatif. Mekanisme kerjanya berdasarkan penghambatan sintesis polipeptida
bakteri.
b. Berdasarkan
luas aktivitasnya
Berdasarkan
aktivitasnya, antibiotika dikelompokkan sebagai berikut (Setiabudy, 2007):
1) Antibiotik spektrum sempit (Narrow spectrum)
2) Golongan ini terutama efektif untuk melawan satu jenis
organisme. Contohnya penisilin dan eritromisin dipakai untuk mengobati infeksi
yang disebabkan oleh bakteri gram positif. Karena antibiotika berspektrum
sempit bersifat selektif, maka obat-obat ini lebih aktif dalam melawan
organisme tunggal tersebut daripada antibiotika berspektrum luas.
3) Antibiotik spektrum luas (Broad spectrum)
4)
Antibiotik spektrm luas contohnya seperti tetrasiklin
dan sefalosporin efektif terhadap organisme baik gram positif maupun gram
negatif. Antibiotika berspektrum luas sering kali dipakai untuk mengobati
penyakit infeksi yang belum diidentifikasi dengan pembiakan dan sensitifitas.
c.
Berdasarkan
mekanisme kerjanya
Berdasarkan
mekanisme kerjanya, antibiotik dikelompokkan sebagai berikut (Permenkes, 2011):
1)
Menghambat sintesis atau merusak dinding sel
bakteri, seperti beta-laktam (penisilin, sefalosporin, monobaktam, karbapenem,
inhibitor beta-laktamase), basitrasin dan vankomisin.
2)
Memodifikasi atau menghambat sintesis protein,
misalnya aminoglikosid, kloramfenikol, tetrasiklin, makrolida (eritromisin,
azitromisin, klaritromisin), klindamisin, mupirosin dan spektinomisin.
3)
Menghambat enzim-enzim esensial dalam metabolism
folat, misalnya trimethoprim dan sulfonamid.
4) Mempengaruhi
sintesis atau metabolism asam nukleat, misalnya kuinolon, nitrofurantoin.
d.
Berdasarkan
daya kerja
Berdasarkan daya kerjanya,
antibiotik dikelompokkan sebagai berikut (Permenkes, 2011):
1)
Bakterisidal, yaitu antibiotik yang mampu
mematikan bakteri pada dosis biasa. Antibiotik ini bekerja di dinding sel,
membran sel, dan sintesis DNA. Antibiotik ini dapat dibagi menjadi 2 kelompok,
yaitu : 1). Concentrentration dependent killing (membunuh bakteri
bergantung kadar) seperti aminoglikosida
dan kuinolon. 2). Time dependent killing (membunuh bakteri bergantung waktu) seperti betalactam dan
vancomicin.
2) Bakteriostatik, yaitu antibiotik yang mampu menghentikan
pertumbuhan dan replikasi bakteri pada dosis biasa. Antibiotik ini bekerja
dengan menghambat sintesis protein. Contohnya kloramfenikol, makrolida, dan
linkomisin.
e.
Resistensi Antibiotik
Resistensi
adalah kemampuan bakteri untuk menetralisir dan melemahkan daya kerja
antibiotik. Hal ini dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu (Drlica & Perlin, 2011):
1) Merusak antibiotik dengan enzim yang
diproduksi.
2) Mengubah reseptor titik tangkap
antibiotik.
3) Mengubah fisiko-kimiawi target sasaran
antibiotik pada sel bakteri.
4) Antibiotik tidak dapat menembus dinding
sel, akibat perubahan sifat dinding sel bakteri.
5) Antibiotik masuk ke dalam sel bakteri,
namun segera dikeluarkan dari dalam sel melalui mekanisme transport aktif ke
luar sel.
Faktor yang menyebabkan resistensi
antibiotik diantaranya yaitu penggunaan antibiotik dengan frekuensi yang
sering, penggunaan antibiotik yang tidak rasional, penggunaan antibiotik baru
yang berlebihan, dan penggunaan antibiotik untuk jangka waktu lama (Setiabudy, 2007). Menurut Setiabudy (2007), mekanisme resistensi antibiotik terbagi menjadi 3,
yaitu:
1)
Obat tidak mencapai tempat kerjanya didalam sel
mikroba
Antibiotik tidak dapat masuk
melalui porin atau lubang kecil pada bakteri disebabkan karena adanya mutasi
atau perubahan pada porin tersebut.
2)
Inaktivasi obat
Inaktivasi obat disebabkan karena
enzim-enzim yang dihasilkan bakteri merusak struktur antibiotik sehingga
terjadi resistensi khususnya pada golongan aminoglikosida dan beta aktam.
3)
Mikroba mengubah tempat ikatan (binding site)
antibiotik
Mekanisme ini terlihat pada S.
aureus yang resisten terhadap metisilin
(MRSA). Bakteri ini mengubah Penicillin Binding Proteinnya (PBP)
sehingga afinitasnya menurun terhadap metisilin dan antibiotik betalaktam yang
lain (Setiabudy, 2007).
3.2.2 Prinsip
Penggunaan Antibiotik untuk Terapi Empiris dan Definitif
Prinsip penggunaan
antibiotik untuk terapi empiris dan definitif menurut Permenkes, 2011 sebagai
berikut:
1. Antibiotik Terapi Empiris
Penggunaan antibiotik untuk terapi empiris adalah
penggunaan antibiotik pada kasus infeksi yang belum diketahui jenis bakteri
penyebabnya. Tujuan pemberian antibiotik untuk terapi empiris adalah eradikasi
atau penghambatan pertumbuhan bakteri yang diduga menjadi penyebab infeksi,
sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologi. Indikasi penggunaan
antibiotik ini yakni ditemukan sindrom klinis yang mengarah pada keterlibatan
bakteri tertentu yang paling sering menjadi penyebab infeksi.
Antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan pertama
untuk terapi infeksi Sedangkan pada infeksi sedang sampai berat dapat
dipertimbangkan menggunakan antibiotik parenteral. Lama pemberian antibiotik
empiris diberikan untuk jangka waktu 48-72 jam. Selanjutnya harus dilakukan
evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta data
penunjang lainnya.
Dasar
pemilihan jenis dan dosis antibiotik empiris, yakni sebagai berikut
a. Data epidemiologi dan pola resistensi bakteri yang
tersedia di komunitas atau di rumah sakit setempat.
b. Kondisi klinis pasien.
c. Ketersediaan antibiotik.
d. Kemampuan antibiotik untuk menembus ke dalam
jaringan/organ yang terinfeksi.
e. Untuk infeksi berat yang diduga disebabkan oleh
polimikroba dapat digunakan antibiotik kombinasi.
2. Antibiotik untuk Terapi Definitif
Penggunaan antibiotik untuk terapi definitif adalah
penggunaan antibiotik pada kasus infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri
penyebab dan pola resistensinya. Tujuan pemberian antibiotik untuk terapi
definitif adalah eradikasi atau penghambatan pertumbuhan bakteri yang menjadi
penyebab infeksi, berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi. Indikasi
penggunaan antibiotik definitif sesuai dengan hasil mikrobiologi yang menjadi
penyebab infeksi.
Antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan pertama
untuk terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan
menggunakan antibiotik parenteral. Jika kondisi pasien memungkinkan, pemberian
antibiotik parenteral harus segera diganti dengan antibiotik per oral. Lama
pemberian antibiotik definitif berdasarkan pada efikasi klinis untuk eradikasi
bakteri sesuai diagnosis awal yang telah dikonfirmasi. Selanjutnya harus
dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis pasien
serta data penunjang lainnya.
Dasar
pemilihan jenis dan dosis antibiotik definitif, yakni sebagai berikut,
a. Efikasi klinik dan keamanan berdasarkan hasil uji
klinik
b. Sensitivitas
c. Biaya
d. Kondisi klinis pasien
e. Diutamakan antibiotik lini pertama/spektrum sempit
f. Ketersediaan antibiotik (sesuai formularium rumah
sakit).
g. Sesuai dengan Pedoman Diagnosis dan Terapi (PDT)
setempat yang terkini.
h. Paling kecil memunculkan risiko terjadi bakteri
resisten.
3.2.3 Prinsip
Penggunaan Profilaksis Antibiotik
Perbedaan utama antara pemberian profilaksis dan
terapi Antimikroba (AM) ialah pada besarnya inokulum kuman. Pada profilaksis,
ukuran inokulum kuman kecil sekali atau nol karena memang tidak ada infeksi.
Pada pemberian untuk terapi, ukuran inokulum besar dan antimikroba harus
diberikan sampai infeksi dapat diatasi. Dengan demikian pemberian profilaksis
berlangsung singkat yaitu terbatas pada waktu terjadi paparan terhadap infeksi.
Tidak semua pemberian profilaksis bermanfaat bagi
pasien. Yang paling besar manfaatnya ialah profilaksis yang ditujukan kepada
kuman tunggal yang diketahui peka terhadap AM yang diberikan itu, dan
profilaksis itu diberikan itu, dan profilaksis itu diberikan untuk jangka waktu
pendek. Sebaliknya bila profilaksis diberikan untuk jangka waktu pendek.
Sebaliknya bila profilaksis diberikan untuk mencegah infeksi oleh banyak kuman
yang kepekaannya tidak diketahui terhadap AM yang digunakan, apalagi bila
diberikan untuk waktu yang lama, maka hasilnya biasanya mengecewakan.
Pada tindakan bedah, profilaksis hanya diberikan pada
bedah kotor atau bersih terkontaminasi. Profilaksis AM untuk tindakan bedah
yang bersih hanya dilakukan bila tindakan itu berisiko tinggi, misalnya pada
total hip replacement. Profilaksis AM prabedah diberikan secara intravena pada
saat induksi anestesi sehingga dalam waktu 15-30 menit mencapai kadar puncaknya
dalam darah dan jaringan. Dengan demikian pada waktu dilakukan insisi bila ada
kuman dari permukaan kulit atau mukosa yang terbawa masuk ke jaringan, maka
kuman itu sulit dapat berkembang karena pada saat itu kadar antibiotika di
jaringan sangat tinggi.
Pada kebanyakan tindakan bedah, profilaksis, cukup
diberikan satu kali, namun bila pembedahan berlangsung beberapa jam, pemberian
obat dapat diulangi. Pemberian profilaksis bedah yang melebihi 24 jam tidak
memberi manfaat tambahan, tetapi menambah kemungkinan berkembangnya kuman
resisten akibat terjadinya tekanan selektif. Pemberian profilaksis yang terlalu
dini juga harus dihindarkan karena menyebabkan kadar AM dalam darah tidak
optimal pada waktu kuman ikut masuk ke jaringan melalui sayatan kulit. Selain
itu kuman mungkin sebagai sudah menjadi resisten karena terjadinya tekanan
selektif.
Antimikroba profilaksis yang terpilih untuk kebanyakan
infeksi ialah sefazolin karena kuman di kulit yang paling sering terbawa masuk
ke jaringan waktu dilakukan infeksi ialah stapilokokus dan streptokokus. Bila
ada alasan kuat dapat diberikan seftriakson atau AM lainnya (Farmakologi dan Terapi, 2016).
3.2.4 Prinsip Penggunaan Antibiotik Profilaksis
Bedah
Antibiotik profilaksis adalah pemberian
antibiotik sebelum, saat dan hingga 24 jam pasca operasi pada kasus yang secara
klinis tidak didapatkan tanda-tanda infeksi. Diharapkan pada saat operasi
antibiotik di jaringan target operasi sudah mencapai kadar optimal yang efektif
untuk menghambat pertumbuhan bakteri.
Prinsip penggunaan antibiotik profilaksis
selain tepat dalam pemilihan jenis juga mempertimbangkan konsentrasi antibiotik
dalam jaringan saat mulai dan selama operasi berlangsung. Untuk profilaksis
bedah, harus digunakan sefalosporin generasi I–II,
kecuali pada kasus tertentu yang dicurigai melibatkan bakteri anaerob dapat
ditambahkan metronidazole dan tidak dianjurkan menggunakan sefalosporin
generasi III-IV, golongan karbapenem, dan golongan kuinolon.
Tujuan pemberian antibiotik profilaksis pada kasus
pembedahan yaitu penurunan dan pencegahan kejadian Infeksi Luka Operasi (ILO),
penurunan morbiditas dan mortalitas pasca operasi, penghambatan muncul flora
normal resisten, dan meminimalkan biaya pelayanan kesehatan.
Dasar
pemilihan jenis antibiotik untuk tujuan profilaksis yakni,
a. Sesuai dengan sensitivitas dan pola bakteri patogen
terbanyak pada kasus bersangkutan.
b. Spektrum sempit untuk mengurangi risiko resistensi
bakteri.
c. Toksisitas rendah.
d. Tidak menimbulkan reaksi merugikan terhadap pemberian
obat anestesi.
e. Bersifat bakterisidal.
f. Harga terjangkau.
Antibiotik profilaksis diberikan secara intravena dan
dianjurkan pemberian antibiotik intravena drip untuk menghindari risiko yang
tidak diinginkan. Waktu pemberian antibiotik profilaksis yaitu ≤ 30 menit
sebelum insisi kulit. Idealnya diberikan pada saat induksi anestesi. Untuk
menjamin kadar puncak yang tinggi serta dapat berdifusi dalam jaringan dengan
baik, maka diperlukan antibiotik dengan dosis yang cukup tinggi. Pada jaringan
target operasi kadar antibiotik harus mencapai kadar hambat minimal hingga 2
kali lipat kadar terapi dan durasi pemberian adalah dosis tunggal.
Indikasi
penggunaan antibiotik profilaksis didasarkan kelas operasi, yaitu operasi
bersih dan bersih kontaminasi. Kelas operasi dikategorikan sebagai berikut, (SIGN,2008).
Tabel 2.1 Klasifikasi Kelas Operasi
|
Kelas Operasi |
Definisi |
Penggunaan
Antibiotik |
|
Operasi Bersih |
Operasi yang dilakukan pada daerah dengan kondisi
pra-bedah tanpa infeksi, tanpa membuka traktus (respiratorius,
gastrointestinal, urinarius, bilier), operasi terencana, atau penutupan kulit
primer dengan atau tanpa digunakan drain tertutup. |
Kelas operasi bersih terencana umumnya tidak memerlukan
antibiotik profilaksis kecuali pada beberapa jenis operasi, misalnya mata,
jantung, dan sendi. |
|
Operasi Bersih-kontaminasi |
Operasi yang dilakukan pada traktus (digestivus, bilier,
urinarius, respiratorius, reproduksi kecuali ovarium), atau operasi tanpa
disertai kontaminasi yang nyata. |
Pemberian antibiotik profikaksis pada kelas operasi bersih
terkontaminasi perlu dipertimbangkan manfaat dan risikonya karena bukti
ilmiah mengenai efektivitas antibiotik profilaksis belum ditemukan |
|
Operasi kontaminasi |
Operasi yang membuka saluran cerna, saluran empedu,
saluran napas sampai orofaring, saluran kemih, saluran reproduksi kecuali
ovarium atau operasi tanpa pencemar yang nyata. |
Kelas operasi kontaminasi memerlukan antibiotik terapi
(bukan profilaksis). |
|
Operasi kotor |
Operasi pada perforasi saluran cerna, saluran urogenital
atau saluran napas yang terinfeksi ataupun operasi yang melibatkan darah yang
purulent (inflamasi bacterial). Dapat pula operasi pada luka terbuka lebih
dari 4 jam setelah kejadian atau terdapat jaringan nonvital yang luas atau
nyata kotor |
Memerlukan antibiotik terapi |
3.2.5 Prinsip Penggunaan Antibiotik Kombinasi
Antibiotik
kombinasi adalah pemberian antibiotik
lebih dari satu jenis untuk mengatasi infeksi.Tujuan pemberian antibiotik
kombinasi adalah untuk meningkatkan aktivitas antibiotik pada infeksi spesifik
(efek sinergis), memperlambat dan
mengurangi risiko timbulnya bakteri resisten. Indikasi penggunaan antibotik
kombinasi menurut Brunton et.al,(2008),
yakni sebagai berikut:
a. Infeksi disebabkan oleh lebih dari satu
bakteri (polibakteri).
b. Abses intra abdominal, hepatik, otak dan
saluran genital (infeksi campuran aerob dan anaerob).
c. Terapi empiris pada infeksi berat.
Hal-hal yang
perlu diperhatikan mengenai terapi antibiotik kombinasi (Brunton et.al, 2008):
a. Kombinasi antibiotik yang bekerja pada
target yang berbeda dapat meningkatkan atau mengganggu keseluruhan aktivitas
antibiotik.
b. Suatu kombinasi antibiotik dapat memiliki
toksisitas yang bersifat aditif atau superaditif. Misalnya, vankomisin secara tunggal memiliki efek
nefrotoksik minimal, tetapi pemberian bersama aminoglikosida dapat meningkatkan
toksisitasnya.
c. Diperlukan pengetahuan jenis infeksi, data
mikrobiologi dan antibiotik untuk mendapatkan kombinasi rasional dengan hasil
efektif.
d. Hindari penggunaan kombinasi antibiotik
untuk terapi empiris jangka lama.
e.
Pertimbangkan
peningkatan biaya pengobatan pasien.
3.2.5 Pemilihan Antibiotik pada Kasus Bedah Menurut
Burke Cunha
Pemilihan antibiotik
atau kerasionalan terapi antibiotik dinilai
berdasarkan pemenuhan kriteria 4T (tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien dan
tepat dosis). Tepat indikasi dilakukan dengan melihat kesesuaian antara penggunaan
antibiotik dengan kondisi klinis pasien yang membutuhkan/tidak terapi
antibiotik, tepat obat. (Taketomo et al., 2006). Penggunaan antibiotik yang rasional diharapkan dapat
meningkatkan therapeutic outcome dan membatasi laju resistensi (American Society of
Health-System Pharmacist, 1998).
Pemilihan antibiotik dapat dilakukan berdasarkan pedoman penggunaan antibiotik.
Salah satu referensi untuk memilih antibiotik untuk kasus bedah adalah
referensi menurut Burke Cunha, Berikut merupakan Tabel pemilihan antibiotik
untuk kasus bedah Menurut referensi Burke Cunha Tahun 2015:
Tabel 2.2 Pemilihan Antibiotik Untuk Kasus Bedah Menurut Burkhe
Cunha, 2015
|
No. |
Diagnosis |
Patogen |
Terapi Antibiotik |
Terapi Antibiotik
Alternatif |
Antibiotik Switch IV ke PO |
Indikasi Antibiotik |
|
|
1. |
Osteomyelitis kronis |
S. aureus (MSSA) |
Tigecycline
200 mg (IV) × 1 dosis, kemudian
100 mg (IV) setiap 24 jam. 2-4 minggu. atau Meropenem
1 g (IV) setiap
8 jam. atau Piperacillin/ tazobactam 3,375 g
(IV) setiap 6 jam. atau Ertapenem 1
gm (IV) Setiap
24 jam. |
Moxifloxacin
400 mg (IV) setiap 24 jam. atau Ceftizoxime
2 g (IV) setiap
8 jam. atau Ampicillin/ sulbactam 3
g (IV) setiap
6 jam. Atau terapi kombinasi dengan Ceftriaxone
1 g (IV) setiap
24 jam plus Metronidazole 1 g
(IV) setiap 24 jam |
Clindamycin
300 mg (PO) setiap 8 jam plus Levofloxacin
500 mg (PO) setiap 24 jam Atau monoterapi dengan Moxifloxacin 400 mg (PO) Setiap
24 jam. |
Terapi antibiotik |
|
|
S. aureus (MRSA) |
Linezolid
600 mg (IV) setiap 12 jam. 4-6 minggu atau Minocycline
100 mg (IV) setiap 12 jam. 4-6 minggu atau Vancomycin
2 g (IV) setiap 12 jam. 4-6 minggu atau Quinupristin/dalfopristin
7,5 mg/kg (IV) setiap 12 jam. 4-6 minggu. |
Linezolid
600 mg (PO) setiap 12 jam. 4-6 minggu atau Minocycline
100 mg (PO) setiap 12 jam. 4-6 minggu. Quinolone (PO) 4-6 minggu. |
|
||||
|
Entero- bacteriaceae |
Ceftriaxone 1 gm (IV) setiap 12 jam.
4-6 minggu atau Quinolone (IV) 4-6 minggu atau Tigecycline 100 mg (IV) × 1 dosis, kemudian 50 mg (IV) setiap 12 jam 4–6 minggu. |
Cefotaxime 2 gm (IV) setiap 6 jam. 4-6 minggu atau Ceftizoxime 2 gm (IV) setiap 8 jam, 4-6 minggu. |
|
|
|||
|
2. |
Osteomyelitis akut |
Streptokokus
grup A dan B S . aureus (MSSA) E . coli P .
mirabilis K pneumoniae B . fragilis Patogen
diatas/ S. Aureus (MRSA) |
Cefazolin 1
gm (IV) setiap 8 jam. 4-6 minggu atau Ceftriaxone 1 gm (IV)
setiap 24 jam. 4-6 minggu atau Meropenem 1 gm (IV)
setiap 8 jam. 4-6 minggu. Sama
seperti diatas plus Minocycline 100 mg
(IV) setiap 12 jam. 2-4 minggu atau Linezolid
600 mg (IV) Setiap 12
jam. 4-6 minggu. atau monoterapi dengan Tigecycline
200 mg (IV) × 1
dosis, kemudian 100 mg (IV)
setiap 24 jam. 2-4 minggu. |
Cefotaxime
2 g (IV) setiap
6 jam. 4-6 minggu atau Ceftizoxime
2 g (IV) setiap
8 jam. 4-6 minggu Minocycline 100 mg (IV) setiap 12 jam. 2-4
minggu plus Levofloxacin 500 mg (IV)
setiap 24 jam atau Ceftriaxone
1 g (IV) setiap
24 jam. 2-4 minggu |
Clindamycin
300 mg (PO) setiap 8 jam. 4-6 minggu atau Cephalexin 1 g (PO)
setiap 6 jam . 4-6 minggu. atau respiratory quinolone (PO) setiap
24 jam. 4-6 minggu. Minocycline
100 mg (PO)
Setiap 12
jam. 2-4 minggu plus Quinolone (PO) setiap
24 jam. 2-4 minggu. |
Terapi antibiotik |
|
|
3. |
Appendicitis kronis |
Entero-
baccteriacea B. fragilis |
Ertapenem 1
g (IV) setiap
24 jam. Atau Ceftazidime/ avibactam
2,5 g (IV) setiap
8 jam. Plus Metronidazole
1 g (IV) setiap 24 jam. Atau Tigecycline
200 mg (IV) × 1 dosis, kemudian
100 mg (IV) setiap 24 jam atau Meropenem 1
g (IV)
setiap 8 jam. |
Ampicillin/ sulbactam 3
g (IV) setiap
6 jam. Atau Doripenem 1
g (IV) setiap
8 jam. Atau terapi kombinasi dengan Metronidazole 1 gm
(IV) setiap 24 jam plus Ceftriaxone
1 g (IV) setiap
24 jam atau Levofloxacin 500 mg (IV)
setiap 24 jam. |
Moxifloxacin
400 mg (PO) setiap
24 jam atau Amoxicillin/ clavulanate
875/125 mg
(PO) Setiap 12 jam. |
Terapi antibiotik |
|
|
4. |
Appendicitis Akut |
Entero- baccteriacea B. fragilis |
Moxifloxacin 400 mg (IV) setiap 24 jam atau Cefoxitin 2 g (IV) setiap 6 jam atau Piperacillin/ tazobactam 3,375 g (IV) setiap 6 jam. |
Ampicillin/ sulbactam 1,5 g (IV) setiap 6 jam. atau Ceftazidime/ avibactam 2,5 g (IV) setiap 8 jam plus Metronidazole 500 mg (IV) setiap 8 jam |
Moxifloxacin 400 mg (PO) setiap 24 jam atau Amoxicillin/ clavulanate 875/125 mg (PO) setiap 12 jam Atau terapi
kombinasi dengan Levofloxacin 500 mg (PO) setiap 24 jam plus Clindamycin 300 mg (PO) setiap 8 jam. |
Terapi antibiotik |
|
|
5. |
Gangrene of right foot (jaringan tubuh Mengalami nekrosis atau mati) |
Streptokokus grup A,
Entero-bacteriaceae Streptokokus Anaerobik S. Aureus (MSSA) |
Piperacillin/ tazobactam 3,375 g (IV) setiap 6 jam × 2 minggu atau Ertapenem 1 g (IV) setiap 24 jam × 2 minggu |
Clindamycin 600 mg (IV) setiap 8 jam x 2
minggu plus Levofloxacin 500 mg (PO) setiap 24 jam × 2
minggu |
Clindamycin 300 mg (PO) setiap 8 jam× 2 minggu. plus Levofloxacin 500 mg (IV) setiaap 24 jam x 2 minggu. |
Terapi antibiotik |
|
|
6. |
BPH Akut |
Entero- bacteriaceae |
Quinolone
(IV) × 2 minggu atau Ceftriaxone 1 g (IV)
setiap 24 jam × 2 minggu. |
TMP–SMX 2,5 mg/kg
(IV) setiap 6 jam × 2 minggu atau Aztreonam 2 g (IV)
setiap 8 jam × 2 minggu |
Quinolone (PO) × 2 minggu atau Doxycycline 200 mg (PO)
setiap 12 jam × 3 hari, kemudian
100 mg (PO) setiap 24 jam × 11 hari atau TMP–SMX 1
SS tablet (PO) Setiap 12 jam × 2 minggu. |
Profilaksis Profilaksis |
|
|
7. |
BPH Kronik |
Entero- bacteriaceae |
|
TMP–SMX 1 DS tablet (PO) setiap 12 jam
× 1–3 bulan. Fosfomycin 3 gm (PO) setiap 48 jam ×
30 hari + Doxycycline
100 mg (PO) |
|||
|
setiap 24 jam × 1–3 bulan. |
|
||||||
|
MDR GNB |
|
Fosfomycin
3 gm (PO) setiap 48 jam. 30 hari. + Doxycycline
100 mg (PO) q24h × 1–3 bulan. |
|
||||
|
8. |
Hematothorax minimal bilateral cc trauma
throrax |
S. aureus (MSSA) |
Cefazolin 1 gm (IV) × 1 dosis atau Ceftriaxone 1 g (IV) × 1 dosis |
Cefotaxime 2 gm (IV) × 1 dosis atau Ceftizoxime 2 g (IV) × 1 dosis |
- |
Terapi antibiotik |
|
|
9. |
Open fracture philens of
right thumbs (Fraktur terbuka) |
S. aureus (MSSA) Basil GNB aerobik |
Ceftriaxone 1 g (IV) × 1
minggu |
Clindamycin 600 mg (IV) setiap 8
jam × 1 minggu plus Gentamicin 240 mg (IV) setiap 24 jam ×
1 minggu |
Merupakan terapi dini, bukan
profilaksis sejati. Durasi antibiotik pasca op tergantung pada keparahan infeksi. |
Profilaksis |
|
|
10. |
Open fracture of left end
femur+fractur mandibula+head injury |
S. aureus (MSSA) Basil GNB aerobik |
Ceftriaxone 1 gm (IV) × 1
minggu |
Clindamycin 600 mg (IV) setiap 8
jam × 1 minggu plus Gentamicin 240 mg (IV) setiap 24 jam ×
1 minggu |
Merupakan terapi dini, bukan
profilaksis sejati. Durasi antibiotik pasca op tergantung pada keparahan infeksi. |
Profilaksis
|
|
|
11. |
Fraktur (Fraktur terbuka) |
S. aureus (MSSA) Basil GNB aerobik |
Ceftriaxone 1 g (IV) × 1 minggu |
Clindamycin 600 mg (IV) setiap 8
jam × 1 minggu plus Gentamicin 240 mg (IV) setiap 24 jam ×
1 minggu |
Merupakan terapi dini, bukan
profilaksis sejati. Durasi antibiotik pasca op tergantung pada keparahan infeksi. |
||
|
12. |
Benos Multiple cc Facialis |
Streptokokus Grup A H. Influenza |
Ceftriaxone
1 g (IV) setiap 24 jam × 2 minggu atau Cefotaxime
2 g (IV) setiap 6 jam × 2 minggu atau Ceftizoxime
2 g (IV) setiap 8 jam × 2 minggu. |
Respiratory Quinolone (IV) Setiap 24
jam × 2 minggu |
Sefalosporin
generasi 2 dan 3 PO × 2 minggu atau Respiratory
quinolone (PO) Setiap 24
jam × 2 minggu |
||
DAFTAR PUSTAKA
American Society of Health System Pharmacist (AHFS). 2011. Drug Information Essentials, Point of Care Drug Information for Health Care Profession’s. Maryland.
AHFS.
Brunton, L., Parker, K., Blumenthal, D., Buxton, I.,
2008. Goodman and Gilman’s Manual of
Pharmacology and Therapeutics. New York: Mc Graw Hill Medical.
Burke, Cunha, 2015, Antibiotic Essensials Fourteenth Ed, Jaypee Brothers Medical Publisher,
New Delhi, India.
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2016,
Farmakologi dan Terapi Edisi 6, Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
2009,
Undang-undang Republik
Indonesia No.44 Tahun 2009
Tentang Rumah Sakit. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Jakarta.
Dertarani, V. 2009. Evaluasi Penggunaan Antibiotik Berdasarkan Kriteria Gyssens di Bagian Ilmu Bedah RSUP DR Kariadi. Karya Tulis Ilmiah. Semarang: Fakultas
Kedokteran UNDIP.
Gunawan.
2012. Farmakologi dan Terapi
Edisi 5. Jakarta:
Balai
Penerbit FKUI.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2016, Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 72
Tahun 2016 Tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2011,
Pedoman
Visite, Jakarta: Departemen
Kesehatan
Republik Indonesia.
Pemerintah Republik Indonesia Menkes RI. (2016). Peraturan Menteri Kesehatan RI
No. 72 Tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2011.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2406/Menkes/Per/XII/2011
Tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik. Jakarta : Depkes RI.
Setiabudy, R. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi V. Jakarta:
Gaya Baru.
Taketomo, C.K., Hodding, and J.H., Kraus, D.M. 2006, Pediatric
Dosage Handbook, Lexy comp, Hudson, Ohio.
Tjay, T. H., dan Rahardja, K. 2007. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan
Efek-Efek Sampingnya. Edisi ke VI. Jakarta: PT Elex Media Komputindo: hal.193.
Comments
Post a Comment