MAKALAH MANAJEMEN PRODUKSI FARMASI “ SUPPLY CHAIN INDUSTRI FARMASI INDONESIA ”
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keresahan Pemerintah Indonesia terhadap
meningkatnya harga-harga produk Farmasi di Indonesia patut disambut sebagai
sebuah sinyal positif. Industri Farmasi Indonesia telah menggurita sehingga
gagal menghasilkan produk Farmasi yang murah namun berkualitas tinggi. Niat
pemerintah Indonesia, melalui Menteri Kesehatan, untuk menurunkan harga obat
(generik) akan selalu mengalami kesulitan. Hal ini akan berjalan terus
sepanjang struktur Industri Farmasi di Indonesia tidak mengalami reformasi.
Fenomena ini juga tidak jarang diperparah oleh inkonsistensi yang dilakukan
Pemerintah Republik Indonesia sendiri akibat tarik-menarik kepentingan di
dalamnya. Pada sisi lain, kegagalan pemerintah dan Industri Farmasi untuk
menghadirkan harga produk Farmasi yang murah, telah memunculkan peluang bisnis
bagi para produsen obat ilegal. Perbedaan margin yang terlalu tinggi
menyebabkan muncul peluang untuk menghadirkan produk substitusi (bahkan palsu)
dengan harga ‘njomplang’ (murah). Keengganan Industri Farmasi untuk menata diri
agar lebih ‘langsing’, gesit dan murah; disertai dengan ancaman hadirnya
produsen ilegal telah menyebabkan Industri Farmasi di Indonesia bagaikan sedang
diopname. Gagasan self-dispensing medication yang beberapa kali
dimunculkan akan selalu kandas, justru akibat tekanan para pelaku Industri
Farmasi itu sendiri. Bahkan desain pemerintah atas tata kelola rantai pasokan Industri
Farmasi telah memberi ruang yang sangat besar bagi hadirnya Pedagang Besar Farmasi
(PBF), sehingga rantai pasokan menjadi lebih panjang.
Perusahaan Farmasi atau perusahaan obat-obatan adalah perusahaan bisnis komersial
yang fokus dalam meneliti, mengembangkan dan mendistribusikan obat. Mereka
dapat membuat obat generik atau obat bermerek. Untuk dapat bertahan perusahaan Farmasi
harus menjual produk kepada pelanggan untuk mendapatkan keuntungan. Saat ini
ada 199 jumlah perusahaan Farmasi yang beroperasi di Indonesia. Dari jumlah
tersebut sebanyak 35 perusahaan adalah PMA (Penanaman Modal Asing) dengan
pangsa pasar yang diperkirakan mencapai 29.5%. Empat perusahaan lain adalah
BUMN dengan pangsa pasar sebesar 7,0% dan sisanya PMDN (Penanaman Modal Dalam
Negeri) dengan pangsa pasar 63.5%. Sebanyak 10 besar perusahaan Farmasi di
tahun 2010 umumnya didominasi oleh 9 perusahaan lokal yaitu Sanbe Farma, Kalbe
Farma, Dexa Medica, Bintang Toedjoe, Tempo Scan Pacific, Kimia Farma, Konimex,
Phapros, Indofarma dan 1 perusahaan PMA yaitu Pfizer. Market share dari
10 perusahaan terbesar ini kurang lebih 40%. Kompleksifitas dan banyaknya
kompetitor di dalam negeri menambah sulitnya penjualan obat kepada customer.
Salah satu penunjang keberhasilan penjualan obat bagi perusahaan Farmasi adalah
dengan adanya management Supply Chain yang baik sehingga menjadi
keunggulan kompetitif perusahaan tersebut. Banyak perusahaan yang mengalami
kerugian yang cukup besar, karena tidak terintegrasinya masalah pengadaan logistik, gejalanya adalah terjadinya kelebihan atau kekurangan persediaan,
kerusakan, kesalahan pengiriman, kehilangan. Sejauh ini, kejadian seperti itu dapat dihindari dengan mengintegrasikan semua
kegiatan logistik mulai dari ujung pemasok paling awal sampai ke konsumen paling
akhir. Konsep integrasi logistik ini disebut dengan Supply Chain atau
rantai pasokan yang juga merupakan salah satu upaya peningkatan mutu perusahaan
Farmasi secara internal.
Rantai pasokan adalah pengintegrasian aktivitas pengadaan bahan baku menjadi
barang setengah jadi dan produk jadi, pelayanan serta pengiriman ke pelanggan.
Seluruh aktivitas ini mencakup aktivitas pembelian dan penjualan produk,
ditambah fungsi lain yang penting bagi hubungan antara pemasok dan distributor.
Manajemen Rantai Pasokan (MRP) mencakup seluruh kegiatan arus dan transformasi
barang mulai dari bahan mentah sampai produk jadi, dan penyaluran ke tangan
konsumen, termasuk aliran informasinya. Bahan baku dan aliran informasi adalah
rangkaian dari rantai pasokan. Kegiatan MRP dalam pelaksanaannya melibatkan
secara langsung ataupun tidak langsung semua perusahaan dan organisasi yang
berhubungan dengan perusahaan inti, sebagai contohnya adalah PBF (Pedagang
Besar Farmasi).
B. Rumusan
Masalah
Rumusan masalah
dari makalah ini adalah :
1. Apa yang dimaksud Supply
Chain di Industri Farmasi?
2. Apa
saja komponen dasar Supply Chain
Management?
3. Apa
tujuan dari Supply Chain Management?
4. Apa
fungsi dasar Supply
Chain
Management?
5. Bagaimana
proses Supply Chain?
6. Bagaimana perkembangan Supply Chain Industri Farmasi di
Indonesia?
7.
Bagaimana persebaran Bahan
Baku Industri Farmasi?
8.
Bagaimana Keagenan
Distribusi di Industri Farmasi?
9.
Bagaimana cara memendekkan Rantai Pasokan?
10. Apa yang
dimaksud dengan Inventory Planning?
C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk
mengetahui Supply Chain di Industri
Farmasi
2. Untuk
mengetahui komponen dasar Supply Chain
Management
3. Untuk
mengetahui tujuan dari Supply Chain
Management
4. Untuk
mengetahui fungsi dasar Supply
Chain
Management
5. Untuk
mengetahui proses Supply Chain
6. Untuk mengetahui perkembangan Supply Chain Industri Farmasi di
Indonesia
7.
Untuk mengetahui persebaran
Bahan Baku Industri Farmasi
8.
Untuk mengetahui Keagenan Distribusi di Industri Farmasi
9.
Untuk mengetahui cara
memendekkan
Rantai Pasokan
10. Untuk
mengetahui Inventory Planning
D. Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah :
1. Agar
mahasiswa dapat mengetahui komponen dasar Supply
Chain Management
2. Agar
mahasiswa dapat mengetahui tujuan dari Supply
Chain Management
3. Agar
mahasiswa dapat mengetahui fungsi
dasar Supply
Chain
Management
4. Agar
mahasiswa dapat mengetahui proses Supply
Chain
5. Agar mahasiswa dapat mengetahui
perkembangan Supply Chain Industri
Farmasi di Indonesia
6.
Agar mahasiswa dapat
mengetahui persebaran Bahan Baku Industri Farmasi
7.
Agar mahasiswa dapat mengetahui Keagenan Distribusi di Industri Farmasi
8.
Agar mahasiswa
dapat mengetahui cara memendekkan Rantai Pasokan
9.
Agar mahasiswa dapat mengetahui Inventory
Planning
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Supply Chain
Supply
Chain dapat didefinisikan
sebagai sekumpulan aktifitas (dalam bentuk entitas/fasilitas) yang terlibat
dalam proses transformasi dan distribusi barang mulai dari bahan baku paling
awal dari alam sampai produk jadi pada konsumen akhir. Menyimak dari definisi
ini, maka suatu Supply Chain terdiri
dari perusahaan yang mengangkut bahan baku dari bumi/alam, perusahaan yang
mentransformasikan bahan baku menjadi bahan setengah jadi atau komponen,
supplier bahan-bahan pendukung produk, perusahaan perakitan, distributor, dan
retailer yang menjual barang tersebut ke konsumen akhir.
B.
Lima
komponen dasar dari Supply Chain
Management
1. Plan
Plan atau perencanaan merupakan kegiatan strategi
untuk mengatur semua sumber (sources)
agar memenuhi permintaan
pelanggan atas suatu produk atau layanan.
2.
Source
Source (sumber) mencakup supplier
(perusahaan penyedia barang) yang menghantarkan barang atau layanan yang dibutuhkan
untuk pembuatan barang jadi.
3.
Make
Ini merupakan langkah produksi, dimana perlu dilakukan
penjadwalan terhadap aktivitas-aktivitas yang dibutuhkan untuk produksi,
uji coba, packaging, dan
persiapan untuk pengiriman
barang.
4.
Deliver
Bagian ini juga dikenal dengan logistik. Pada bagian
ini perlu dilakukan koordinasi antara pesanan dari pelanggan, bangun jaringan
warehouse,
tentukan pengangkutan yang
akan mengirimkan barang atau layanan kepada
pelanggan dan membuat sistem
invoice untuk menerima pembayaran.
5.
Return
Bagian ini merupakan bagian yang menjadi masalah dalam
Supply Chain. Buat suatu jaringan
untuk menerima pengembalian barang atau layanan dan melayani
pelanggan yang memiliki masalah dengan pengiriman barang.
C. Tujuan
Supply Chain Manajement
1. Supply
Chain manajemen menyangkut pertimbangan mengenai lokasi
setiap fasilitas yang memiliki dampak terhadap aktivitas dan biaya dalam rangka
memproduksi produk yang diinginkan pelanggan dari supplier dan pabrik hingga disimpan di gudang dan
pendistribusiannya ke sentra penjualan.
2. Mencapai efisiensi aktivitas dan biaya seluruh sistem,
total biaya sistem dari transportasi
3. Hingga distribusi persediaan bahan baku, proses kerja
dan barang jadi.
4. Penyerahan/pengiriman produk secara tepat waktu demi
memuaskan konsumen.
5. Mengurangi biaya
6. Meningkatkan segala hasil dari seluruh supply chain (bukan hanya satu
Perusahaan)
7. Mengurangi waktu
8. Memusatkan kegiatan perencanaan dan distribusi
D. Fungsi
dasar Supply
Chain
Management
1. Secara fisik mengubah bahan baku dan komponen menjadi
produk dan mengirimnya ke konsumen akhir.
2. Menyakinkan bahwa pengiriman produk atau jasa
memuaskan aspirasi pelanggan.
E.
Proses Supply
Chain
Dalam Supply Chain ada beberapa pemain utama yang merupakan perusahaan
yang mempunyai kepentingan yang sama, yaitu : 1. Supplies 2. Manufactures
3. Distribution 4. Retail Outlet 5. Customers
|

Berbeda dengan konsep Supply Chain umum yang sangat mengedepankan responsiveness dan
efisiensi. Pada distribusi Farmasi yang terdepan seharusnya adalah “Kualitas”
dan Responsiveness. Kualitas
merupakan hal yang mutlak, karena ini adalah produk Obat yang memiliki fungsi
untuk “penyembuhan”, bayangkan jika kualitasnya rusak. Disamping mengurangi
khasiat, obat yang rusak bahkan bisa menjadi racun bagi tubuh.
Demand Management. Namun demikian produk Farmasi
memiliki formula tersendiri yang menjadi celah sehingga para praktisi bisa
meningkatkan efisiensi dalam distribusi obat. Misalnya saja, obat yang dibagi
menjadi dua klasifikasi yaitu obat akut dan obat kronis. Obat akut biasanya
adalah kelompok obat yang berfungsi untuk pengobatan sekali terapi, misalnya
saja pasien demam berdarah, tifus, dan sebagainya. Sementara obat kronis
diperuntukkan untuk terapi terus menerus, misalnya saja pasien hipertensi,
kolesterol, ataupun gula yang harus mengkonsumsi obat tersebut secara jangka
panjang. Dan biasanya untuk kategori kronis ini terjadinya perpindahan merek
produk cenderung minimal, karena sangat tergantung pada faktor rekomendasi
dokter dan kecocokan. Dengan kata lain, kategori obat kronis cendrung lebih
mudah untuk diperkirakan permintaannya ketimbang obat akut.
F. Perkembangan
Supply Chain Industri Farmasi di
Indonesia
Saat ini di Indonesia terdapat sekitar 239 perusahaan Farmasi yang beroperasi. Sebagian
besar Industri Farmasi terdapat di Jawa Barat (94), Jawa Timur (47), dan DKI
Jakarta (37). Beberapa top players di industri ini adalah Kalbe Farma,
Sanbe, Soho, Pharos Indonesia, Dexa Medica dan Tempo Scan Pacific. Total pangsa
pasar lima besar pemain tersebut adalah sebesar 32%.
|

Ronny H. Mustamu (2000) mengungkap bahwa
ketidakstabilan ekonomi-politik yang berdampak pada melemahnya nilai tukar
Rupiah terhadap valuta asing akan secara langsung berdampak pada Industri
Farmasi di Indonesia. Fakta bahwa lebih dari 90 persen bahan baku berasal dari negara lain, sangatlah menempatkan industri
ini pada posisi rentan pada ketidakstabilan ekonomi-politik tersebut. Seiring
dengan melemahnya daya beli masyarakat, maka beragam bentuk obat alternatif
seperti jamu dan ramuan China sangat mempengaruhi pertumbuhan pasar Industri Farmasi
Indonesia. Pertumbuhan konsumsi obat per kapita di Indonesia sesungguhnya masih
kurang menggembirakan nilainya (Grafik 1).
Namun demikian, besarnya potensi volume pasar dalam negeri Indonesia (dengan
lebih dari 235 juta penduduk), memberikan potensi keuntungan yang menjanjikan
bagi para pemain asing (Grafik 2).
Oleh karenanya, meskipun pasar obat di Indonesia sarat dengan ketidakpastian
dan pemalsuan produk, namun para pemain asing sangat berminat untuk bekerja di
Indonesia. 31 pabrikan Farmasi asing di Indonesia telah menguasai sekitar 50
prosen pasar produk Farmasi Nasional.
|

|

|
Gambaran pasar di atas ternyata belum disambut dengan sebuah proses
untuk menjadi lebih efisien dalam Industri Farmasi. Pengelolaan saluran
distribusi (distribution channel) dalam Industri Farmasi di Indonesia
ternyata lebih mengarah pada model Concentration. Model ini memberikan
peluang bagi produsen Farmasi untuk mengurangi jumlah transaksi secara
signifikan (Bowersox dan Closs, 1996). Desain Pemerintah Republik Indonesia
atas hadirnya Pedagang Besar Farmasi (PBF) memungkinkan produsen Farmasi untuk
menghindarkan diri dari risiko besarnya jumlah akun transaksi dengan peritel
secara langsung. Gambar 1.6 mungkin dapat secara sederhana memberikan gambaran bagaimana para
produsen Farmasi lebih terpesona pada kinerja PBF daripada mengelola hubungan
langsung dengan peritel Farmasi. Sayangnya, model yang oleh para produsen Farmasi
dianggap sebagai lebih efisien dan lebih baik tersebut, ternyata memberikan
beban biaya tambahan kepada konsumen hingga mencapai 16 prosen sampai 30
prosen, bergantung pada panjangnya mata rantai dalam saluran distribusi
tersebut.
|

Sampai dengan tahun
2015, perusahaan Farmasi domestik masih mendominasi dengan penguasaan pangsa pasar
sebesar 72%, sedangkan perusahaan Farmasi multinasional menguasai pangsapasar
sebesar 28%. Pasar Farmasi terdiri dari pasar obatresep dan obat bebas dimana
masing-masing pangsa pasarnya sebesar 61% dan 39%. Dari masing-masingpangsa
pasar tersebut, perusahaan domestik menguasaipangsa pasar sebesar 38% obat
resep dan 34% obat bebas, dimana sisanya dikuasai perusahaan multinasional.
International
Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG)
mengungkapkan ada lima hal yang harus dipenuhi untuk menjadikan Indonesia
sebagai pusat riset dan pengembangan Industri Farmasi. Jika
hal ini terpenuhi dapat menarik investor dan meningkatkan daya saing nasional. Direktur
Eksekutif IPMG, Parulian Simanjuntak menerangkan, beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam Industri Farmasi, yaitu (1) sistem politik yang stabil dan transparan; (2)
sistem kekayaan intelektual kelas dunia; (3) pasar yang terbuka dan tanpa
diskriminasi; (4) jaringan yang kuat antara sektor swasta dan akademisi; (5) insentif
dalam hal pajak.

|

Dia mengatakan IPMG sebagai pelaku industri dan salah satu pemangku
kepentingan di sektor kesehatan, berkomitmen untuk dapat berkontribusi terhadap
perbaikan dan peningkatan sektor kesehatan Indonesia. International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG), asosiasi
perusahaan Farmasi internasional yang beroperasi di Indonesia, memaparkan
peluang dan tantangan Industri Farmasi di Tanah Air pada 2017.
IPMG menunjukkan sikap optimistis dengan pertumbuhan Industri Farmasi di
Indonesia.
Menurut data IMS Health, pasar Industri Farmasi tumbuh 7,49% hingga
kuartal keempat 2016, lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun
sebelumnya sebesar 4,92%. IPMG memperkirakan pertumbuhan ini akan berlanjut
pada 2017. Salah satu faktor pendorong tumbuhnya Industri Farmasi adalah
meluasnya jangkauan kepesertaan dari Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau BPJS
Kesehatan yang mencapai 175 juta anggota hingga Maret 2017, atau 66% dari
keseluruhan populasi penduduk Indonesia. Hal ini juga didukung komitmen
pemerintah menjadikan Industri Farmasi sebagai salah satu industri prioritas di
Indonesia. Salah satunya adalah dengan meluncurkan Roadmap Industri Farmasi dan
Alat Kesehatan, pada akhir Februari 2017.
Selain itu, JKN masih terus berkutat dengan masalah defisit
keuangan. Hingga 2016, total defisit dalam program JKN mencapai Rp 6,23 triliun. Pada
tahun 2014 dilaksanakan program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional). Program JKN
dibentuk sebagai tanggung jawab pemerintah untuk memberikan pelayanan kesehatan
dasar kepada masyarakat, terutama golongan yang tidak mampu. Dengan demikian,
masyarakat golongan menengah kebawah mengalami 3 kesulitan dalam memenuhi standar
kesehatan sehingga program JKN akan mengedepankan produk obat obat generik.
Dengan adanya program ini secara langsung maupun tidak langsung sangat
mempengaruhi MRP (Manajemen Rantai Pasokan) pada PBF (Pedaganag Besar Farmasi)
sebagai pemasok atau pensuplai obat di apotek dan di Rumah Sakit yang menjadi
pelanggan utama perusahan Farmasi. Inti dari persaingan perusahaan-perusahaan
sekarang ini terletak pada bagaimana sebuah perusahaan mampu menciptakan produk
atau jasa yang lebih baik, dan lebih cepat pendistribusiannya dibandingkan
dengan pesaing bisnisnya. Pengintegrasian ini akan meningkatkan efisiensi dan
efektivitas, selain itu, lebih jauh lagi menciptakan keunggulan kompetitif
tertentu bagi perusahaan terkait.
G.
Persebaran Bahan Baku Industri Farmasi
Saat
ini Indonesia sudah dapat memenuhi kebutuhan akan obat sendiri, hampir 90%
kebutuhan obat berasal dari produksi dalam negeri, hanya Industri Farmasi di
Indonesia masih sangat tergantung dengan bahan baku impor, hampir 96% bahan
baku yang digunakan Industri Farmasi masih diimpor.
Pasar
Farmasi Indonesia pada tahun 2011 berkisar sekitar 43 triliun rupiah (Business
Monitoring International Report, 2011; IMS, 2011), dari jumlah tersebut
diperkirakan market value untuk
bahan baku obat (BBO) yang digunakan adalah kurang lebih sekitar 30%-nya
atau sekitar 14 triliun rupiah. Dari jumlah tersebut sekitar 96%-nya merupakan bahan baku impor. Jumlah ini dapat
diminimalisir jika ada kemandirian di bidang obat dengan menumbuhkan industri bahan
baku obat dalam negeri.
Obat
memiliki peranan ganda yaitu peran sosial dalam meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat tetapi memiliki peran
ekonomis yang cukup tinggi. Hal
ini menunjukkan bahwa obat mempunyai peranan strategis yang mempengaruhi
ketahanan nasional, oleh karena itu kemandirian dalam produksi obat-obatan
harus diupayakan agar Indonesia tidak selalu tergantung dari negara lain. Oleh
karena itu upaya untuk melakukan kemandirian bahan baku obat jangan hanya
dilihat dari sudut ekonomi saja, karena pada tahap awal produksinya maka bahan
baku dalam negeri mungkin saja lebih mahal dari bahan baku impor.
Pengembangan
bahan baku obat dalam negeri hendaknya juga dipandang sebagai suatu upaya untuk
menjaga ketahanan nasional di bidang obat, karena akan sangat riskan bagi suatu
negara sebesar Indonesia apabila kita tetap membiarkan ketergantungan Industri
Farmasi dalam negeri terhadap bahan baku obat impor. Salah satu proses
pengembangan bahan baku obat dalam negeri ialah melalui pemanfaatan sumber daya
hayati Indonesia.
Kekayaan
sumber daya hayati Indonesia merupakan sumber daya yang potensial di bidang
Farmasi yang selama ini belum dimanfaatkan sepenuhnya. Keragaman hayati
tanaman, mikroorganisme dan biota laut berkolerasi langsung dengan
keragamankimia yang memiliki potensi yang sangat besar bagi pengembanganobat.
Disisi lain berdasarkan pemetaan riset yang dilakukan oleh Dewan Riset Nasional
tahun 2006 – 2007 untuk bidang kesehatan dan obat menunjukkan bahwa aktivitas
riset yang paling tinggiadalah riset obat alami dari senyawa aktif alam
walaupun pada tahun 2011 riset terhadap bahan baku kimia juga meningkat dengan cukup
pesat. Keanekaragaman hayati dan banyaknya riset di bidang obat alami dan obat
kimia selanjutnya didorong untuk pengembangan industri bahan baku obat baik bahan baku obat aktif
maupun bahan baku pembantu (eksipien).
Untuk
mengurangi ketergantungan bahan baku obat, perlu ditumbuhkan industri bahan
baku obat di tanah air, dimana pemerintah dalam waktu 10 hingga 20 tahun
kedepan perlu membuat rencana strategis berupa roadmap pengembangan
bahan baku obat di Indonesia serta menetapkan starting point dan
strategi yang harus ditempuh dalam mewujudkan peningkatan kemandirian bahan
baku obat di Indonesia.
Ada
tiga stake holder utama yang memiliki peran sentral dalam pengembangan
dan penyedian bahan baku obat. Pertama Industri Farmasi yang memiliki tanggung
jawab dalam hal pengembangan bahan baku obat dalam negeri. Kedua peneliti dan
akademisi yang memiliki kapasitas untuk pengembangan bahan baku obat. Ketiga
adalah pemerintah yang harus memiliki “political will” untuk melaksanakan
peningkatan kemandirian bahan baku obat ini. Pemerintah harus memberikan
insentif dan membuat kebijakan yang kondusif bagi industri untuk mengembangkan
bahan baku obat, serta menciptakan berbagai skema pendanaan penelitian untuk
mendorong kolaborasi riset antara peneliti dan industri. Pada saat ini ada
beberapa pendapat untuk memasukan lembaga pembiayaan keuangan seperti bank,
koperasi dan lain lain sebagai salah
satustake holder penting dalam pengembangan industri bahan baku obat.
Kemandirian
bahan baku obat perlu diupayakan dalam rangka mendukung pembangunan kesehatan
nasional. Kegiatan pengembangan bahan baku obat merupakan kegiatan prioritas
yang tercantum dalam RPJMN Pembangunan Kesehatan 2010-2014 dan akan difokuskan
pada upaya untuk mewujudkan kemandirian Industri Farmasi dalam memproduksi
bahan baku obat baik bahan baku aktif maupun pembantu (eksipien) dengan
semaksimal mungkin menggunakan bahan baku lokal.
Rencana
Strategis Kementerian Kesehatan 2010-2014 juga telah mencantumkan penyediaan
bahan baku obat dalam arah, kebijakan dan strateginya dengan fokus untuk
mengurangi ketergantungan bahan baku impor dalam produksi obat. Dalam Kepmenkes
No. 267/Menkes/SK/II/2010 tentang Penetapan Roadmap Reformasi Kesehatan
2010-2014 dalam Reformasi KeFarmasian dan Alat Kesehatan pada butir (d) telah
dicantumkan perlunya upaya kemandirian di bidang bahan baku obat dan obat
tradisional Indonesia melalui pemanfaatan keanekaragaman hayati.
H.
Memendekkan
Rantai Pasokan
Dalam konteks Industri Farmasi, proses sepanjang rantai pasokan bersifat
sangat dinamis. Oleh karenanya, kontrol terhadap seluruh saluran rantai pasokan
tersebut menjadi jauh lebih sulit disbanding industri manufaktur lainnya
(Kiely, 2004). Semakin panjang dan dinamis rantai pasokan tersebut, maka
aktivitas forecasting dan demand planning menjadi sangat penting.
Panjangnya rantai pasokan Industri Farmasi di Indonesia digambarkan secara
tepat oleh Carin Isabel Knoop (1998) sebagaimana dalam Gambar 2. Mustamu (2000)
mengungkap bahwa pada “potongan” rantai distribusi, PBF berpotensi menarik
margin sebesar 16 prosen, sub distributor dan wholesaler masing-masing
antara 15 prosen hingga 16 prosen dan peritel bergerak antara 20 prosen hingga
35 prosen. Tentu, panjangnya rantai pasokan ini sangat membebani konsumen
dengan tingginya harga jual produk Farmasi. Upaya untuk menjadikan rantai
pasokan pada sebuah industri menjadi lebih efektif selalu menjadi kajian para
peneliti MRP. Cigolini, Cozzi, Perona (2004) berusaha untuk menghadirkan
strategi MRP yang lebih membumi melalui penyusunan Demand-Supply Matrix (DSM)
yang memungkinkan untuk tidak hanya mengukur kinerja operasi rantai pasokan,
tetapi juga pengukuran dari sisi akuntasi biayanya. Dalam upaya memudahkan
pengenalan rantai pasokan dalam sebuah industri, Harland, Lamming, Zheng dan
Johnsen (2001) berusaha menyusun taksonomi jaringan pasokan yang membagi jenis
jaringan pasokan ke dalam empat klasifikasi ber dasarkan derajat dinamika
jaringan pasokan dan derajat pengaruh perusahaan utama dalam jaringan pasokan.
Mata rantai pasokan yang terlalu panjang menyebabkan banyak kerugian.
Waktu perlaluan (throughput time) yang semakin panjang, menyebabkan
berkurangnya peluang produk untuk lebih cepat diserap konsumen. Pada sisi lain,
lambatnya proses penyerapan produk oleh konsumen memunculkan risiko kerusakan
produk (waste) akibat keterbatasan waktu daluwarsa (expiry date).
Mustamu (2000) mengungkap bahwa Industri Farmasi di Indonesia membutuhkan 120
hari untuk satu kali waktu perlaluan. Dari waktu tersebut, 60 hari untuk produksi dan 60 hari
untuk transportasi. Tentu hal ini membawa risiko bahwa setiap pergeseran factor penetapan harga di antara tenggang waktu 120 hari tersebut akan sulit diakomodasi oleh para pelaku bisnis. Dapat dikatakan, harga produk Farmasi (obat) pada hari ini sesungguhnya telah ditentukan 120 hari yang lalu. Tingginya prosentase bahan baku impor (lebih dari 90 prosen) dalam Industri Farmasi di Indonesia menyebabkan industri ini sangat rentan terhadap setiap pergeseran nilai tukar Rupiah terhadap valuta asing, terutama Dolar Amerika Serikat (USD). Faktor kerugian kedua akibat panjangnya mata rantai pasokan adalah munculnya kerusakan barang akibat kesalahan penanganan (mishandling), baik dalam bentuk kerusakan akibat proses perpindahan antar sarana
transportasi dan antargudang, maupun akibat kesalahan proses pengelolaan ruang penyimpanan (gudang). Tidak jarang, proses pengkerutan (shringkage) ini juga diperparah oleh rawannya jalur transportasi/distribusi akibat kejahatan (pencurian) jalan raya. Mencermati
fenomena tersebut di atas, tidak banyak yang dapat dilakukan, kecuali meningkatkan upaya untuk
memendekkan rantai pasokan. Dalam konteks inilah pendekatan MRP menjadi sangat penting. Dalam konteks di Indonesia, MRP diharapkan sanggup menurunkan waktu perlaluan dari 120 hari (Gambar 3) menjadi lebih pendek. Jika memungkinkan, penghapusan salah satu mata rantai pasokan (sub-distributor) akan sangat bermanfaat, karena sanggup menurunkan biaya setidaknya 15 prosen hingga 16 prosen. Breen dan Crawford (2005) melihat bahwa pemanfaatan teknologi informasi memberikan warna sangat positif bagi pengelolaan MRP. Efisiensi yang ditumbuhkan oleh kinerja teknologi informasi memungkinkan pengelolaan berdasarkan real time data. Proses Electronic Data Interchange (EDI) memberi
peluang pengelolaan MRP hingga outlet terkecil melalui pemanfaatan internet (e-commerce). Dalam konteks di Indonesia, temuan Breen dan Crawford ini tentu berpeluang untuk memendekkan panjangnya rantai pasokan Industri Farmasi. Konsep ini sesungguhnya tidak hanya menghemat waktu, namun juga secara signifikan menghemat biaya akibat meningkatnya kecepatan dan akurasi serta menurunnya jumlah aktivitas kerja yang dibutuhkan. Hal ini searah dengan Richard Pibernik (2006) yang mengungkap bahwa sistem persediaan (stock systems) dapat didesain dengan lebih efisien. Keamanannya pun dapat dikelola melalui pengintegrasian demand dan supply (Talluri, Cetin dan Gardner, 2004). Bahkan pemanfaatan teknologi informasi untuk penguatan proses bisnis dapat diarahkan pula pada pengalokasian perhatian yang lebih banyak untuk mengenali konsumen
dan memberikan layanan terbaik yang dibutuhkan. Pendekatan seperti ini akan memberikan peluang cukup besar bagi upaya menjaga dan memelihara pelanggan (Schofield dan Breen, 2006). Dalam konteks Industri Farmasi, pemanfaatan EDI memungkinkan perusahaan untuk memberikan layanan “seakan-akan” personal, karena proses data elektronik yang memungkinkan hadirnya proses bersifat “taylor-made”.
|

|

Indonesia
adalah pasar yang besar bagi Industri Farmasi. Ada beberapa faktor yang menjadi
driver pertumbuhan Industri Farmasi nasional yaitu jumlah penduduk Indonesia
yang besar; kesadaran masyarakat yang semakin tinggi akan kesehatan; tingkat
perekonomian masyarakat yang terus meningkat; dan akses kesehatan yang
meningkat seiring implementasi BPJS Kesehatan. Sebagai tambahan, rasio
healthcare expenditure terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia saat
ini masih relatif rendah (3,1%)
sehingga potensi peningkatan masih cukup besar. Healthcare expenditure per
kapita Indonesia diperkirakan akan tumbuh sebesar 14% per tahun, dari USD108
pada 2012 menjadi USD237 pada 2018. Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN
lain, rasio healthcare expenditure terhadap PDB maupun healthcare expenditure
per kapita per tahun di Indonesia saat ini termasuk rendah. Pasar Farmasi
nasional tumbuh rata-rata 12% per tahun (CAGR) pada periode 2010-2014. Besar
pasar Farmasi nasional pada tahun 2015 sekitar Rp62-65 triliun, dan akan
meningkat menjadi Rp69 trilyun pada tahun 2016. Pada 1H15, obat resep (ethical)
mendominasi sekitar 61% pasar Farmasi nasional dan sisanya adalah obat bebas
(over the counter/OTC). Sebagai tambahan, obat resep dibedakan menjadi obat
patent, generik bermerk (branded generic) dan generik berlogo (OGB).
I.
Keagenan Distribusi

|

Pabrikan obat biasanya menunjuk distributor nasional
untuk menjangkau Apotek dan Rumah Sakit. 10 – 20 tahun yang lalu para pabrikan
yang seringkali disebut sebagai Principal cenderung menetapkan distributor
tunggal. Berbeda dengan produk konsumer yang sudah mengarah pada
multi-distributor. Penunjukkan distributor tunggal ditengarai karena principal
menginginkan bentuk kerjasama yang sederhana dan tidak perlu mengurus beberapa
distributor. Disamping itu, jumlah titik distribusi yang harus dijangkau oleh
distributor masih sedikit dibandingkan produk-produk konsumer.
Distributor nasional disamping menjual langsung ke
retailer, ternyata juga masih membutuhkan Pedagang Besar Farmasi (PBF) lokal
dengan daya jangkau yang lebih terbatas. Kebutuhan akan PBF lokal ini lantaran
daya jangkau yang terbatas misal adanya kebutuhan untuk menjangkau
daerah-daerah tertentu dimana Distributor Nasional ini belum memiliki cabang /
kantor perwakilan.
Namun keberadaan PBF lokal ini ternyata juga memiliki peran lain dalam
upaya menyalurkan produk ke “Grey Market”
yang disebutkan tadi. Mereka ini biasanya jarang tersentuh oleh BPOM ketimbang
para distributor nasional yang pengawasannya lebih ketat. Disamping Grey Market, PBF lokal ini akhirnya juga
memakan titik distribusi dari distribusi nasional. Akibatnya di tingkat
retailer seperti Apotek jamak ditemui bahwa obat yang sama bisa diperoleh lebih
dari satu distributor. Bahkan harga yang diperoleh dari PBF lokal ini
seringkali lebih murah. Wajar saja, karena distributor nasional biasanya
memberikan diskon yang tinggi kepada PBF lokal. Sungguh merupakan area yang
sulit untuk dikendalikan.
J.
Inventory Planning
Pada akhirnya ini merupakan bagian yang sering menjadi “Korban” dari
fleksibilitas demand produk Farmasi. Walau secara teori beberapa produk bisa
diprediksi jumlah permintaannya, namun karena terdapat aktivitas promosi dari
Principal mengakibatkan pembelian suatu produk menjadi seasonal dan fluktuatif.
Faktor produk obat komoditi juga sangat besar, yang seringkali
mengakibatkan terjadinya penumpukan penjualan di akhir bulan. Resource yang sangat besar terfokus pada
hari-hari terakhir untuk closing
penjualan, mulai dari sisi sales hingga bagian gudang yang menyiapkan barang.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kesimpulan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Supply Chain dapat didefinisikan sebagai sekumpulan aktifitas
(dalam bentuk entitas/fasilitas) yang terlibat dalam proses transformasi dan
distribusi barang mulai dari bahan baku paling awal dari alam sampai produk
jadi pada konsumen akhir.
2. Lima
komponen dasar dari Supply Chain
Management yaitu Plan, Source, Make,
Deliver, dan Return.
3. Tujuan
dari Supply Chain Management ialah Supply
Chain manajemen menyangkut pertimbangan mengenai lokasi
setiap fasilitas yang memiliki dampak terhadap aktivitas dan biaya dalam rangka
memproduksi produk yang diinginkan pelanggan dari supplier dan pabrik hingga disimpan di gudang dan
pendistribusiannya ke sentra penjualan, mencapai efisiensi aktivitas dan biaya seluruh sistem,
total biaya sistem dari transportasi hingga distribusi persediaan bahan baku, proses kerja
dan barang jadi.
3. Fungsi
dasar Supply Chain Management ialah secara fisik mengubah bahan baku dan komponen menjadi
produk dan mengirimnya ke konsumen akhir serta meyakinkan bahwa pengiriman produk atau jasa memuaskan
aspirasi pelanggan.
4. Dalam
proses Supply
Chain ada beberapa pemain
utama yang merupakan perusahaan yang mempunyai kepentingan yang sama, yaitu :
1. Supplies 2. Manufactures 3. Distribution
4. Retail Outlet 5. Customers
5. Perkembangan Industri Farmasi di Indonesia saat ini terdapat sekitar 239 perusahaan Farmasi yang beroperasi. Sebagian
besar Industri Farmasi terdapat di Jawa Barat (94), Jawa Timur (47), dan DKI
Jakarta (37). Beberapa top players di industri ini adalah Kalbe Farma,
Sanbe, Soho, Pharos Indonesia, Dexa Medica dan Tempo Scan Pacific. Total pangsa
pasar lima besar pemain tersebut adalah sebesar 32%.
6.
Persebaran Bahan Baku
Industri Farmasi saat ini Indonesia sudah dapat memenuhi kebutuhan akan obat
sendiri, hampir 90% kebutuhan obat berasal dari produksi dalam negeri, hanya
Industri Farmasi di Indonesia masih sangat tergantung dengan bahan baku impor,
hampir 96% bahan baku yang digunakan Industri Farmasi masih diimpor.
7. Keagenan
Distribusi pabrikan obat biasanya menunjuk distributor nasional
untuk menjangkau Apotek dan Rumah Sakit. 10 – 20 tahun yang lalu para pabrikan
yang seringkali disebut sebagai Principal cenderung menetapkan distributor
tunggal.
B.
Saran
Kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan
oleh penulis untuk perbaikan makalah-makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Numpang promo ya Admin^^
ReplyDeleteajoqq^^com
mau dapat penghasil4n dengan cara lebih mudah....
mari segera bergabung dengan kami.....
di ajopk.club....^_~
segera di add Whatshapp : +855969190856