Makalah Perencanaan & Kontrol Inventarisasi Produk "Pengendalian Persediaan Bahan Baku"

MAKALAH MATA KULIAH
PERENCANAAN DAN KONTROL INVENTARISASI PRODUK
PENGENDALIAN PERSEDIAAN BAHAN BAKU ”

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 3

        NABILA SARASWATI H.         O1A1 14 029
        NUR ALIF FATUH R.                O1A1 14 033
        RYAN PRASETYA P.                O1A1 14 044
        SITTI YUNIATI S.                      O1A1 14 050
        DESI ASRIYANI                         O1A1 14 092
        EVA PUSPITA SARI                  O1A1 14 110
        FIRDARINI                                  O1A1 14 120

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita hadiratkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya, makalah untuk tugas Perencanaan dan Kontrol Inventarisasi Produk ini dapat terselesaikan. Di dalam makalah ini dibahas mengenai pengendalian persediaan bahan baku dalam sediaan farmasi.
Ucapan terima kasih diberikan kepada pihak yang telah membantu dari awal pembuatan makalah ini hingga selesai pembuatannya.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih mempunyai kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Penyusun berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Kendari, 16 Oktober 2017


       Penulis     














DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………............................................... i
KATA PENGANTAR………………………………………………………….... ii
DAFTAR ISI……………………………………………….................................. iii
BAB 1 : PENDAHULUAN
1.1        Latar Belakang…………………………………………………………....1
1.2         Rumusan Masalah………………………………………………………..2
1.3         Tujuan Penulisan………………………………………………………....2
1.4         Manfaat Penulisan.............................................................................3
BAB II : PEMBAHASAN
2.1         Ruang Lingkup Manajemen Material.......................................................4
2.2         Pengendalian Persediaan (Inventory Control)..........................................5
2.3         Biaya Persediaan (Inventory Cost)...........................................................6
2.4         Pendekatan dalam Pemesanan Bahan Baku.............................................8
2.5         Analisis Pareto.........................................................................................13
2.6         Analisis Just In Time...............................................................................17
2.7         Jurnal Pengendalian Persediaan Bahan Baku..........................................21
BAB III : PENUTUP
3.1     Kesimpulan……………………………………………………………..41
3.2     Saran…………………………………………………………………....42
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...43


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Salah satu ciri era globalisasi adalah “semakin menipisnya batas-batas antar negara” karena kemajuan teknologi terutama di bidang komunikasi dan informasi. Globalisasi tidak bisa dihindari oleh siapa pun. Mau tidak mau, globalisasi akan merambah semua negara dan segala aspek yang ada di dalamnya. Dalam era globalisasi, negara yang memiliki kekuatan ekonomi dan sumber daya manusia yang kuat akan memenangkan persaingan global.  Sebaliknya, negara yang lemah secara ekonomi maupun sumber daya manusia, akan tersisih. Terkait dengan ditanda tanganinya harmonisasi pasar ASEAN tahun 2008 oleh ke-11 pemimpin negara ASEAN, di mana kesehatan/produk farmasi, merupakan salah satu komoditi yang ikut serta dalam harmonisasi pasar ASEAN tersebut. Dengan adanya harmonisasi ini, semua produk dari negara anggota ASEAN bebas masuk dan dipasarkan ke anggota yang lain, termasuk produk farmasi tanpa adanya hambatan tarif bea masuk.
Dilihat dari segi kepentingan konsumen, era perdagangan bebas ini sangat menguntungkan karena konsumen akan memiliki berbagai alternatif dalam memenuhi kebutuhannya. Konsumen tentu akan memilih barang atau jasa yang berkualitas dengan harga yang relatif murah serta pelayanan yang lebih cepat/baik. Sedangkan dari sisi produsen, khususnya industri dalam negeri, era globalisasi menjadi ancaman terutama terhadap produk-produk luar negeri yang selama ini harganya lebih mahal karena dikenakan tarif bea masuk yang tinggi. Demikian pula sebaliknya terhadap produk dalam negeri akan memperoleh kebebasan untuk memasuki pasar di luar negeri. Kondisi ini tentunya akan memicu persaingan yang semakin tinggi, khususnya di Indonesia, karena dengan jumlah penduduknya yang terbesar di kawasan ASEAN, menjadikan Indonesia pasar yang sangat potensial.
Meningkatnya perekonomian dan pendapatan masyarakat, tentu saja akan berpengaruh pula terhadap tingkat pendidikan masyarakat. Kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi saat ini semakin terbuka, dan hal ini akan meningkatkan pula pengetahuan masyarakat. Sebagian masyarakat akan melakukan tindakan rasional dalam membeli barang atau untuk memenuhi kebutuhannya, termasuk kebutuhan akan obat. Dalam membeli suatu produk farmasi (obat),  masyarakat menginginkan   produk yang berkualitas dengan harga yang murah. Hal ini disebabkan meskipun pendapatan meningkat, di lain pihak kebutuhan juga terus meningkat. Dengan demikian industri farmasi dituntut untuk menghasilkan produk dengan kualitas yang tinggi dengan harga yang wajar atau bahkan relatif lebih murah. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh industri farmasi agar dapat bersaing dengan kondisi yang demikian adalah meningkatkan efisiensi dan efektifitas operasi perusahaan. Dengan kata lain, kata kunci  dalam memenangkan persaingan di era globalisasi saat ini adalah peningkatan produktifitas. Manajemen produksi dan operasi di industri farmasi menjadi sangat strategis dan menjadi salah satu faktor penting untuk dapat memenangkan persaingan yang akan semakin ketat di era globalisasi ini.

B.       Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1.         Apa saja ruang lingkup manajemen material ?
2.         Apa yang dimaksud dengan pengendalian persediaan (inventory control)?
3.         Apa tujuan dilakukannya pengendalian persediaan (inventory control) ?
4.         Apa yang dimaksud dengan biaya persediaan (inventory cost) ?
5.         Pendekatan apa saja yang dilakukan untuk melakukan pemesanan bahan baku ?

C.      Tujuan

Rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1.         Untuk mengetahui ruang lingkup manajemen material
2.         Untuk mengetahui proses pengendalian persediaan (inventory control)
3.         Untuk mengetahui tujuan dilakukannya pengendalian persediaan (inventory control)
4.         Untuk mengetahui pengertian dari biaya persediaan (inventory cost)
5.         Untuk mengetahui pendekatan apa saja yang dilakukan untuk melakukan pemesanan bahan baku

D.      Manfaat

Manfaat penulisan makalah ini adalah:
1.         Mahasiswa dapat mengetahui ruang lingkup manajemen material
2.         Mahasiswa dapat mengetahui proses pengendalian persediaan (inventory control)
3.         Mahasiswa dapat mengetahui tujuan dilakukannya pengendalian persediaan (inventory control)
4.         Mahasiswa dapat mengetahui pengertian dari biaya persediaan (inventory cost)
5.         Mahasiswa dapat mengetahui pendekatan apa saja yang dilakukan untuk melakukan pemesanan bahan baku












BAB II
PEMBAHASAN

A.      RUANG LINGKUP MANAJEMEN MATERIAL
Material Management adalah suatu alat (manajemen) untuk mencapai tujuan pengelolaan material (bahan baku, bahan kemas, produk setengah jadi, & produk jadi) itu sendiri. Material Management merupakan JEMBATAN antara Bagian Marketing dengan bagian-bagian lain seperti bagian Produksi, R&D, Finance, dan lain-lain untuk mencapai pengelolaan material secara tepat (tepat jumlah, tepat mutu, tepat waktu dan tepat biaya.
Gambar 1.1  Pendekatan Sistem Material Management
Tugas pokok Material Management adalah mengubah ramalan penjualan (forecasting) menjadi perencanaan produksi dan kemudian menjadi perencanaan bahan baku, persediaan akhir, hasil antara, peralatan pengangkutan, dan jam kerja. Kegiatan utama dalam material management adalah Perencanaan Produksi (production planning) dan pengendalian persediaan (inventory control) sehingga di banyak perusahaan, bagian/departemen ini disebut dengan Departemen Production Planning and Inventory Control (PPIC).

B.       PENGENDALIAN PERSEDIAAN (INVENTORY CONTROL)
Persediaan (inventory) memiliki arti sangat penting dalam operasi bisnis suatu perusahaan, guna untuk memenuhi kebutuhan produksi dan memberikan kepuasan pada kebutuhan organisasi (perusahaan). Terdapat 3 alasan perlunya persediaan bagi industri, yaitu:
(1)     Antisipasi adanya unsur ketidakpastian permintaan
(2)     Adanya unsur ketidakpastian pasokan dari supplier
(3)     Adanya unsur ketidakpastian tenggang waktu (lead time) waktu pemesanan.
Inventory, terutama di industri farmasi terdiri dari raw materials (bahan baku),  packaging materials (bahan pengemas), finished product (Obat jadi), dan work In Process/WIP (Barang setengah jadi).
Tujuan diadakannya persediaan antara lain adalah: (1) untuk memberikan layanan terbaik pada pelanggan, (2) untuk memperlancar proses produksi, (3) untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya kekurangan persediaan (stockout), dan (4) untuk menghadapi fluktuasi harga. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka tentu saja akan menimbulkan konsekuensi bagi perusahaan, yaitu menanggung biaya atau resiko yang berkaitan dengan keputusan persediaan. Bagi bagian Keuangan, inventory adalah uang (modal) sehingga harus dijaga agar nilai inventory tersebut sekecil mungkin untuk memperkuat modal. Sebaliknya, orang marketing memandang bahwa inventory harus setinggi mungkin untuk mendorong penjualan dan antisipasi adanya permintaan yang mendadak. Bagi orang produksi, inventory harus dijaga sedemikian rupa dalam kondisi yang optimum untuk menjaga efisiensi produksi dan memperlancar tingkat pemanfaatannya. Oleh karena itu, sasaran akhir dari pengendalian persediaan adalah menghasilkan keputusan tingkat persediaan, yang menyeimbangkan tujuan diadakannya persediaan dengan biaya yang dikeluarkan. Dengan kata lain, sasaran akhir dari pengendalian persediaan adalah meminimalkan total biaya dengan perubahan tingkat persediaan.
C.      BIAYA PERSEDIAAN (INVENTORY COST)
Inventory (persediaan) adalah biaya. Terdapat lima kategori biaya yang dikaitkan dengan keputusan persediaan, yaitu :
1.    Biaya Pemesanan (order cost)
2.    Biaya Penyimpanan (carrying cost atau holding cost)
3.    Biaya Kekurangan Persediaan (stock out cost)
4.    Biaya yang dikaitkan dengan kapasitas
5.    Biaya barang atau bahan itu sendiri
Biaya pemesanan (order cost). Biaya pemesanan (order cost) adalah biaya yang dikaitkan dengan usaha untuk mendapatkan bahan atau bahan dari luar. Biaya pemesanan dapat berupa: biaya penulisan pemesanan, biaya proses pemesanan, biaya materai/perangko, biaya faktur, biaya pengetesan, biaya pengawasan, dan biaya transportasi. Sifat biaya pemesanan ini adalah semakin besar frekuensi pembelian semakin besar biaya pemesanan.
Biaya Penyimpanan (carrying cost). Komponen utama dari biaya simpan (carrying cost), terdiri dari : (1) biaya modal, meliputi opportunity cost atau biaya modal yang diinvestasikan dalam persediaan, gedung, dan peralatan yang diperlukan untuk mengadakan dan memelihara persediaan; (2) biaya simpan, meliputi biaya sewa gudang, perawatan dan perbaikan bangunan, listrik, gaji, personel keamanan, pajak atas persediaan, pajak dan asuransi peralatan, biaya penyusutan dan perbaikan peralatan. Biaya tersebut ada yang bersifat tetap (fixed), variabel, maupun semi fixed atau semi variabel; (3) biaya resiko, meliputi biaya keusangan, asuransi persediaan, biaya susut secara fisik, dan resiko kehilangan. Sifat biaya penyimpanan adalah semakin besar frekuensi pembelian bahan, semakin kecil biaya penyimpanan.
Biaya Kekurangan Persediaan (stock out). Biaya kekurangan persediaan terjadi apabila persediaan tidak tersedia di gudang ketika dibutuhkan untuk produksi atau ketika langganan memintanya. Biaya yang dikaitkan dengan stock out meliputi: biaya penjualan atau permintaan yang hilang, biaya yang dikaitkan dengan proses pemesanan kembali seperti biaya ekspedisi khusus, penanganan khusus, biaya penjadwalan kembali produksi, biaya penundaan, dan biaya bahan pengganti.
Biaya yang Dikaitkan dengan Kapasitas. Biaya ini terjadi karena perubahan dalam kapasitas produksi yang diperlukan karena untuk memenuhi fluktuasi pasar/permintaan. Biaya yang dikaitkan dengan kapasitas dapat berupa biaya kerja lembur, biaya pelatihan tenaga kerja baru, dan biaya perputaran tenaga kerja (labour turn over cost).
Biaya Bahan atau Barang. Biaya barang atau bahan adalah harga yang harus dibayar atas item yang dibeli. Biaya ini akan dipengaruhi oleh besarnya diskon yang diberikan oleh supplier. Oleh karena itu, biaya bahan atau barang akan bermanfaat dalam menentukan apakah perusahaan tersebut sebaiknya menggunakan harga diskon atau tidak.  Keseluruhan biaya tadi akan mempengaruhi total biaya persediaan (Total Inventory Cost/TOC), yang dapat digambarkan pada gambar.








Gambar 1.2 Biaya Pesanan dan Biaya penyimpanan serta EOQ
Untuk mempertahankan tingkat persediaan yang optimum, diperlukan jawaban atas dua pertanyaan mendasar yaitu (1) kapan dilakukan pemesanan, dan (2) berapa jumlah yang harus dipesan dan kapan harus dilakukan pemesanan kembali. Keputusan mengenai kapan dan berapa jumlah yang harus dipesan, sangat tergantung kepada waktu dan tingkat persediaan.
Untuk menjawab pertanyaan kapan harus dilakukan pemesanan, dapat dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu : (1) pendekatan titik pemesanan kembali (re order point approach/ROP), (2) pendekatan tinjauan periodik (periodic review approach), dan (3) material requirement planning (MRP).
1.        Reorder Point (ROP) Approach
Dalam pendekatan ROP menghendaki jumlah persediaan yang tetap setiap kali melakukan pemesanan. Apabila persediaan mencapai jumlah tertentu, maka pemesanan kembali harus dilakukan, seperti terlihat pada gambar 1.3.
Gambar 1.3 menunjukkan bahwa ROP dilakukan apabila persediaan cukup untuk memenuhi kebutuhan selama tenggang waktu (lead time). Jumlah yang harus dipesan berdasarkan pada Economic Order Quantity (EOQ).
Pendekatan ROP juga menghendaki pengecekan secara fisik ataupun penggunaan kartu catatan stock secara teratur untuk menentukan apakah pemesanan kembali harus dilakukan. Pendekatan ROP mempunyai resiko terjadi stock out jika jumlah permintaan selama waktu lead time melebihi jumlah persediaan pengaman (buffer stock). 






Gambar 1.3 Reorder Point (ROP) Approach
2.        Periodic Review Approach
Dalam pendekatan dengan tinjauan periodik, tingkat persediaan ditinjau pada interval waktu yang sama. Pada setiap tinjauan dilakukan pemesanan kembali agar tingkat persediaan mencapai jumlah yang diinginkan. Jumlah pemesanan kembali didasarkan pada tingkat maksimum yang ditetapkan untuk setiap item persediaan yang dapat dicari dengan rumus sebagai berikut.

 Q = TPM P JSP + PLT
Dimana :
Q             = Jumlah pemesanan kembali
TPM     = Tingkat Persediaan Maksimum
P          = Jumlah persediaan yang ada sekarang
JSP       = Jumlah yang Sedang Dipesan
PLT      = Permintaan selama tenggang waktu pemesanan
Pendekatan Periodic Review mempunyai resiko terjadi stock out jika pemesanan diterima melebihi jangka waktu lead time. 






Gambar 1.4 Periodic Review Approach
3.        Material Requirement Planning (MRP) Approach
Sebagaimana telah dikemukan sebelumnya bahwa metode ROP dan Periodic Review hanya cocok digunakan jika jumlah permintaan adalah konstan, seperti kebutuhan kemeja di toko eceran atau obat jadi, yang dianggap independent terhadap permintaan item yang lain. Namun demikian, sistem ini secara tipikal  tidak memadai untuk berbagai tipe bahan baku maupun komponen atau subkomponen yang digunakan untuk memproduksi suatu produk, seperti obat misalnya. MRP merupakan sistem yang dirancang secara khusus untuk situasi permintaan yang bergelombang (tidak konstan), yang secara tipikal karena permintaan tersebut dependent. Oleh karena itu tujuan dari sistem MRP adalah (1) menjamin tersedianya meterial, item atau komponen pada saat dibutuhkan untuk memenuhi skedul (jadwal) produksi dan menjamin tersedianya produk jadi bagi konsumen, (2) menjaga tingkat persediaan pada kondisi minimum, serta (3) merencanakan aktivitas pengiriman, penjadwalan dan pembelian.
Dibandingkan dengan kedua sistem pengendalian persediaan sebelumnya, manajemen persediaan sistem MRP memiliki kharakteristik, antara lain : 
1.        Perhatian terhadap kapan barang tersebut “dibutuhkan”, bukan pada kapan barang tersebut “dipesan”
2.        Perhatian terhadap prioritas pesanan. Adanya kesadaran bahwa tidak semua pesanan konsumen memiliki prioritas yang sama. Produk yang satu mungkin lebih penting jika dibanding dengan produk yang lain, sehingga memungkinkan dilakukan penjadwalan kembali barang-barang yang kurang urgent
3.        Penundaan pengiriman permintaan. Sebagai konsekuensi dari prioritasisasi pesanan maka untuk item atau barang yang belum diperlukan dapat dilakukan penundaan pengiriman, sehingga akan memaksimalkan kapasitas produksi
4.        Fungsi integrasi. Dengan kharakteristik yang demikian maka bagian Produksi dan PPIC sebagai fungsi yang terintegrasi.
Langkah-langkah Perhitungan MRP :
1.      Menentukan Kebutuhan Bersih (Net Requirement). Net Requirement adalah selisih antara kebutuhan kotor (gross requirement) dengan persediaan yang ada di tangan (on hand). Data yang diperlukan dalam menentukan kebutuhan bersih adalah :
a.       Kebutuhan kotor setiap periode
b.      Persediaan yang ada ditangan
c.       Rencana penerimaan (scheduled receipts)
2.      Menentukan Jumlah Pesanan. Berdasarkan kebutuhan bersih, ditentukan jumlah pesanan, baik item maupun komponennya
3.      Menentukan BOM dan Kebutuhan kotor SETIAP Komponen. Kebutuhan kotor setiap komponen, ditentukan oleh rencana pemesanan (planned order released) komponen yg ada diatasnya dengan dikalikan kelipatan tertentu sesuai kebutuhan
4.      Menentukan Tanggal Pemesanan. Penentuan tanggal pemesanan yang tepat dipengaruhi oleh Rencana Penerimaan (planned order receipts) dan tenggang waktu pemesanan (lead time)
Faktor-faktor Kesulitan dalam MRP :
Terdapat lima faktor yang mempengaruhi tingkat kesulitan dalam proses MRP, yaitu :
1.      Struktur Produk
Semakin rumit struktur produk, akan membuat perhitungan MRP semakin rumit pula. Struktur produk yang kompleks terutama ke arah vertikal, akan membuat proses penentuan kebutuhan bersih, penentuan jumlah pesanan optimal, penentuan saat yang tepat melakukan pesanan, dan penentuan kebutuhan kotor menjadi berulang-ulang.
2.      Ukuran Lot
Jika dilihat dari cara pendekatan masalah, terdapat dua aliran dalam penentuan ukuran lot, yaitu (a) pendekatan period by period, dan (b) level by level. Ukuran lot khususnya untuk struktur produk yang bertingkat banyak (multilevel case) masih dalam tahap pengembangan, sehingga teknik ukuran lot merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kesulitan dalam MRP.
3.      Tenggang Waktu
Perbedaan dalam tenggang waktu akan menambah kerumitan dalam proses MRP. Suatu perakitan belum dapat dilakukan apabila komponen-komponen pembentuknya belum tersedia. Kompleksnya masalah dirasakan pada tahapan penentuan kapan harus melakukan pemesanan, karena tidak hanya menentukan kapan harus melakukan pemesanan, tetapi juga harus menentukan besarnya lot pemesanan.
4.       Perubahan Kebutuhan
MRP dirancang untuk menjadi suatu sistem yang peka terhadap perubahan baik perubahan dari luar (permintaan) maupun perubahan dari dalam (kapasitas). Kepekaan ini bukanlah tidak menimbulkan masalah, perubahan kebutuhan produk akhir tidak hanya mempengaruhi rencana pemesanan, tetapi juga mempengaruhi jumlah kebutuhan yang diinginkan. Jika dihubungkan dengan tenggang waktu pemesanan, dan ukuran lot,  maka proses perhitungan harus diulang kembali sehingga akan mengurangi efisiensi perhitungannya.
5.      Komponen yang Bersifat Umum (Communality)
Adanya komponen yang bersifat umum (dibutuhkan lebih dari satu induk item) akan menimbulkan kesulitan apabila komponen umum tersebut berada pada level yang berbeda, sehingga diperlukan tingkat ketelitian yang tinggi, baik dalam jumlah maupun waktu pelaksanaan pemesanan.   








Gambar 1.5 Arus informasi sistem MRP
Analisis Pareto (konsep ABC)
Dalam pengendalian persediaan, seringkali timbul permasalahan sulitnya mengendalikan karena sedemikian banyaknya item barang yang harus dikendalikan. Untuk memudahkan dalam pengendalian, dapat dilakukan klasifikasi item barang. Klasifikasi yang sering digunakan adalah Klasifikasi Pareto, yang didasarkan pada Hukum Pareto. Hukum ini pertama kali dicetuskan oleh Vilfredo Pareto, seorang ahli ekonomi dan sosiologi berkebangsaan Italia. Ia mengemukakan bahwa sebagian besar kekayaan di Italia dimiliki oleh sebagian kecil dari populasi penduduk, dan ia sampai pada kesimpulan bahwa pola distribusi penghasilan di negara-negara lain pun pada dasarnya serupa. Dalam kenyataannya, hukum ini pun berlaku untuk barang-barang dalam persediaan.
Beberapa persediaan memiliki proporsi  yang relatif lebih kecil dari volume persediaan secara keseluruhan, namun memiliki nilai (rupiah) yang relatif lebih besar. Sebaliknya, beberapa persediaan memiliki volume yang lebih besar, tetapi memiliki nilai (rupiah) yang relatif kecil (“Vital Few, Trival Many” artinya dari seluruh item persediaan yang ada, terdapat sejumlah kecil item persediaan yang mempunyai nilai relatif cukup besar, sementara sebagian besar item persediaan yang lain, nilainya hanya sedikit).
Klasifikasi Pareto disebut juga Klasifikasi ABC, karena membagi item persediaan menjadi 3 kelas, yaitu kelas A, kelas B, dan kelas C. 

Kelas A : Persentase Nilai Penggunaan Kumulatif > 80 %
 Kelas B :  Persentase Nilai Penggunaan Kumulatif 20 - 80 %
Kelas C :  Persentase Nilai Penggunaan Kumulatif < 20 %
Teknik analisa pareto :
1.      Tentukan penggunaan tahunan setiap item persediaan
2.      Kalikan penggunaan tahunan setiap item dengan harga satuannya, sehingga didapat nilai penggunaan tahunan
3.      Susun item-item persediaan dalam daftar nilai penggunaan tahunan, yang terbesar diletakkan di atas, sedangkan terkecil diletakkan paling bawah dalam daftar
4.      Tambahkan secara kumulatif item persediaan dan nilai penggunaannya
5.      Konversikan jumlah kumulatif menjadi prosentase kumulatif
Tabel 1.6 Tabel Pareto






Gambar 1.7 Analisis Pareto (konsep ABC)
Manfaat pengendalian persediaan secara Pareto :
1.      Membantu manajemen dalam menentukan tingkat persediaan yang efisien
2.      Memberikan perhatian pada jenis persediaan utama yang dapat memberikan cost benefit yang besar bagi perusahaan
3.      Dapat memanfaatkan modal kerja (working capital) sebaikbaiknya sehingga dapat memacu pertumbuhan perusahaan
4.      Sumber-sumber daya produksi dapat dimanfaatkan secara efisien yang pada akhirnya dapat meningkatkan produktifitas dan efisiensi fungsi-fungsi produksi 
☼ Perlu diperhatikan bahwa item yang harganya mahal BELUM TENTU masuk kategori A dan item yang murah masuk kategori C, yang benar adalah TOTAL NILAI PENGGUNAAN tahunannya ☼ Adalah KESALAHAN FATAL jika menganggap bahwa item kelas/kelompok C BUKAN item penting, sehingga pengendaliannya boleh diabaikan. Perlu diingat bahwa tablet yang mahal tidak dapat diproduksi dan dijual jika tidak terdapat KARTON PEMBUNGKUS yang harganya hanya beberapa ribu rupiah saja.   
Kunci sukses pengendalian persediaan secara Pareto, adalah :
1.        Item-item pada kelas/kelompok A harus dikendalikan secara ketat, catatan persediaan harus mendetail dan tepat
2.        Item-item pada kelas/kelompok B dilakukan pengawasan secara normal, penyesuaian dapat dilakukan baik mengenai kuantitas pemesanan (ROP) maupun titik pemesanan kembali.
3.        Item-item pada kelas/kelompok C dilakukan pengendalian secara lebih sederhana (minimum). Pengendalian minimum, berarti :
·      Menjamin bahwa item-item yang bernilai rendah SELALU ada dalam persediaan, mempunyai persediaan yang cukup sehingga tidak terjadi stock out
·      Melipat dua/tigakan jumlah persediaan yang masuk kelas/kelompok C tidak akan memberatkan biaya penyimpanan 
·      Untuk mempunyai persediaan yang cukup untuk item-item kelas/kelompok C, maka pengadaan itemitem tersebut dilakukan pada jangka waktu yang lama (setiap 3 – 6 sekali)
Pertimbangan Khusus :  Item yg peka terhadap waktu (expire date)  Item yg mudah rusak pada saat penyimpanan (stabilitas)  Item dengan penanganan khusus, langka, proses pemesanan sulit.
Sistem Pareto/ABC, tidak hanya digunakan untuk pengawasan persediaan, tetapi dapat juga digunakan untuk menentukan tingkat prioritas pelayanan pada langganan dan menentukan tingkat persediaan pengaman, khususnya untuk produk akhir (obat jadi).

 Just In Time (JIT)
Just-In-Time (JIT) merupakan salah satu konsep yang mendukung manajemen biaya guna mengantisipasi perubahan yang terjadi di lingkungan industri sebagai akibat kemajuan teknologi dan otomatisasi. Dalam konsep JIT dilakukan eliminasi biaya melalui eliminasi jumlah persediaan (persediaan = 0 atau zero stock). Eliminasi jumlah persediaan ini secara otomatis menghilangkan biaya penyimpanan dan transportasi sekaligus mengakibatkan penurunan tingkat toleransi terhadap tingkat kesalahan produk. Penerapan JIT menuntut adanya kualitas kerja yang tinggi dan beban kerja yang seimbang (balance capacity) untuk menghindari terjadinya penundaan (delay) produk maupun kekecewaan konsumen. Dengan demikian, yang dimaksud denga sistem JIT adalah usaha-usaha untuk meniadakan pemborosan dalam segala bidang produksi seperti uang, bahan baku, suku cadang atau komponen, waktu produksi dan sebagainya sehingga dapat meghasilkan dan mengurumkan produk jadi tepat waktu untuk dijual. Sistem JIT telah lama diterapkan di Jepang sejak tahun 1960-an, terutama oleh Toyota Motor Company, dan secara modern dipopulerkan oleh Taiichi Ohno Wakil Presiden Direktur Toyota Motor Company pada pertangahan tahun 1970-an. Sistem JIT diterapkan dengan memanfaatkan kemampuan para pemasok bahan baku dan suku cadang atau komponen yang dapat memenuhi kebutuhan industri secara tepat waktu (just-in-time). Penerapan sistem JIT ini bertujuan untuk: (1) meniadakan persediaan (zero inventories), (2) meniadakan produk cacat (zero defects), dan (3) meniadakan gangguan pada skedul produksi (zero schedule interuptions)  JIT dan Waktu Proses Dalam sistem JIT dikenal adanya istilah waktu yang dibutuhkan suatu produk untuk melewati semua proses produksi atau sering disebut dengan troughout time. Troughout time terdiri dari empat komponen waktu yang terbagi menjadi dua jenis kegiatan, yaitu kegiatan penambah nilai (value added activities) dan kegiatan bukan penambah nilai (non value added activities), seperti ditunjukan pada gambar 6-5. Untuk dapat menghasilkan produk dengan harga yang murah, maka harus dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap kegiatan penambah nilai dan selalu berusaha untuk menghilangkan kegiatankegiatan bukan penambah nilai. Proses produksi yang ideal akan menghasilkan troughout time yang sama dengan waktu proses produksi yang merupakan kegiatan penambah nilai.   






Gambar 1.8 Throughout time dan unsur waktu dalam proses produksi
Sistem JIT sering pula diidentikkan dengan usaha untuk menghilangkan pemborosan produksi (waste products) yang disebabkan oleh produk cacat maupun produk rusak, sehingga sistem JIT merupakan bagian penting dari Total Quality Management (TQM). Disamping itu, sistem JIT diidentikkan pula dengan sistem persediaan tepat waktu dan sistem produksi tepat waktu. Kondisi yang dipersyaratkan untuk menerapkan JIT dalam sistem sediaan tepat waktu antara lain adalah: (1) waktu dan biaya pemesanan maupun biaya set-up harus sekecil mungkin, (2) jumlah pemesanan mendekati satu, (3) tenggang waktu (lead time) harus seminimum mungkin, (4) beban antar lini (bagian) atau mesin harus seimbang, (5) tidak ada waktu tunda akibat kualitas produk yang rendah, ketiadaan suplay bahan, kerusakan mesin, perubahan desain dan sebagainya. Sistem JIT bukanlah suatu konsep perubahan yang radikal, tetapi penerapannya harus dilakukan secara bertahap dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1.      Lakukan pengurangan jumlah persediaan sedikit demi sedikit hingga “timbul masalah”
2.      Setelah masalah diketahui, tingkat persediaan ditambah untuk menetralisir kejutan yang terjadi dan menjaga sistem agar sistem beroperasi dengan lancar
3.       Masalah yang timbul dianalisis dan dicari pemecahannya
4.      Setelah masalah hilang, persediaan dikurangi lagi hingga “timbul masalah baru”
5.      Langkah-langkah kedua hingga keempat diulangi lagi hingga ditemukan tingkat persediaan minimum.
Langkah-langkah tersebut di atas, sangat tepat dalam usaha meningkatkan kualitas manajemen persediaan bahan dengan menggunakan sistem JIT. Jika sistem JIT diidentikkan dengan sistem produksi tepat waktu. Penerapan sistem JIT dapat dilakukan dengan proses sebagai berikut:
1.      Dimulai dengan menjadwalkan kembali produksi ke dalam lot lebih kecil.
2.      Meningkatkan pengendalian kualitas dengan menerapkan TQC (total quality control), agar pekerja lebih menyadari peningkatan kualitas.
3.      Meningkatkan faktor-faktor produksi termasuk pekerjanya. Pada umumnya penerapan JIT disertai dengan melibatkan karyawan dalam pengambilan keputusan.
4.      Menerapkan teknik produksi dalam “cell” untuk mempersingkat jarak perjalanan bahan baku maupun komponen lainnya dari satu mesin/tahap produksi ke mesin/tahap produksi yang lain. 
Perbandingan Sistem JIT dan MRP  Sistem MRP (Material Requirement Planning) dan Sistem JIT keduanya ditujukan untuk mencapai produksi tepat waktu (just-intime). MRP adalah suatu sistem yang menggunakan daftar bahan (bill of materials/BOM), status persediaan (inventory master file/IMF), waktu pemesanan, dan jadwal produksi induk (master production schedule/MPS) untuk menghitung kebutuhan bahan. Dalam sistem MRP mengharuskan adanya konsep pentahapan waktu (time phasing) yang membutuhkan pembuatan jadwal untuk mengirimkan bahan yang dibutuhkan untuk membuat suatu produk dengan menggunakan data waktu pesanan. Sedangkan dalam sistem JIT, konsep pentahapan waktu tidak diperlukan, karena sistem ini didasarkan pada sistem produksi lancar. Dalam kasus dimana pelancaran sistem produksi sangat sulit didapat dan proses produksi sangat pendek, penggunaan sistem MRP lebih tepat. Master Production Schedule (MPS) yang merupakan jadwal produksi secara keseluruhan merupakan hal yang sangat penting dalam sistem MRP karena merupakan sasaran yang harus dijaga secara ketat. Sedangkan dalam sistem JIT, MPS bukanlah sasaran produksi yang harus dijaga ketat, tetapi hanya sebagai kerangka kerja untuk menyiapkan pengaturan bahan dan tenaga kerja pada setiap proses.  Perbedaan lain, dalam sistem MRP harus dilakukan peninjauan pada akhir setiap selang waktu untuk membandingkan rencana produksi dengan kenyataan. Jika terjadi perbedaan harus dilakukan perbaikan. Dalam sistem JIT, perbandingan tersebut tidak diperlukan karena perbandingan seperti itu dengan sendirinya muncul dalam hasil produksi harian. Di samping itu, dalam sistem JIT dilakukan sistem terbalik dari lini paling akhir menuju proses sebelumnya (sistem tarik/pull system), sedangkan pada sistem MRP digolongkan pada sistem dorong (push system) dengan dorongan yang berasal dari perencanaan pusat.  Menghadapi volume produksi tinggi atau sistem produksi kontinyu, diperlukan metode produksi dan perencanaan persediaan khusus. Sistem MRP sangat baik untuk tingkat produksi menengah dan lead time komponen-komponennya lebih panjang. Sedangkan untuk tingkat produksi dengan volume besar, sistem JIT lebih tepat untuk diterapkan.  Keuntungan penggunaan sistem kanban (JIT) adalah: (1) waktu persiapan (set-up) pendek, (2) ukuran lot kecil, (3) tingkat persediaan rendah, (4) arus bahan baku lebih lancar, (5) waktu tenggang (lead time) dapat dikurangi, (6) volume dan produk mudah diganti, dan (7) adanya partisipasi dari karyawan (pekerja) dalam membuat keputusan. Sedangkan kerugian sistem Kanban adalah: (1) pekerja memiliki tanggung jawab yang lebih besar dan hal ini membutuhkan kerjasama antara pekerja dengan manajemen secara baik, (2) skedul sangat ketat dan produksi harus selalu tepat waktu, (3) sistem tidak dapat secara cepat merespon kenaikan volume yang cukup besar, (4) kurang efisien jika untuk memproduksi semua komponen atau pesanan khusus. 

D.      PENGENDALIAN PERSEDIAAN BAHAN BAKU
Bahan baku bagi perusahaan manufaktur sangatlah penting karena rata – rata perusahaan manufaktur menggunakan 50% - 60% dari biaya produksi untuk pembelian bahan baku. Tersedianya bahan baku dalam jumlah dan frekuensi pemesanan yang tepat sangat penting untuk menjaga berjalannya proses produksi dengan lancar. Jika perusahaan dapat menerapkan metode pengendalian persediaan dengan tepat, biaya pengendalian persediaan bahan baku dapat dikurangi menjadi lebih rendah, namun pada praktiknya 25% dari usaha kecil menengah tidak menggunakan metode pengendalian bahan baku.
Perusahaan Spa Kosmetik adalah perusahaan yang bergerak dalam pembuatan produk - produk spa di Bali sejak tahun 2000. Bahan baku yang penggunaannya paling banyak dalam proses produksi adalah berupa tepung beras  yaitu sebesar 30%. Perusahaan spa kosmetik dalam pembelian bahan bakunya menggunakan metode tradisional berdasarkan arahan dan kebijakan dari pemilik perusahaan yang dapat mengurangi kelancaran proses pengendalian bahan baku (Perusahaan Spa Kosmetik, 2015).
Pilihan metode yang dapat dipergunakan untuk mengetahui biaya pengendalian bahan baku di perusahaan adalah metode kombinasi JIT/EOQ. Berdasarkan hasil penelitian oleh Nuryanto (2010) di CV. Cahyo Nugroho Jati Sukoharjo, metode kombinasi JIT/EOQ mampu mengurangi hingga 59,85% dibandingkan dengan menggunakan metode tradisional perusahaan. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk dapat membandingkan biaya bahan baku yang persediaannya dikendalikan antara metode tradisional perusahaan dengan kombinasi JIT/EOQ.
Pengendalian persediaan bahan baku merupakan kebijakan untuk mengendalikan tingkat target bahan baku yang harus dimiliki, kapan harus dipesan, dan seberapa banyak, dimana jumlah persediaan yang dibutuhkan berbeda untuk setiap jenis perusahaan  berdasarkan kapasitas produksi, jenis perusahaan dan proses produksinya. EOQ,adalah metode pengendalian persediaan yang paling dikenal dan paling sering digunakan untuk mengendalikan persediaan bahan baku dalam sebuah perusahaan. Didasarkan pada EOQ, kombinasi dari rumus JIT dan EOQ digunakan untuk menjembatani perubahan pengendalian persediaan dari metode EOQ ke metode JIT. Kombinasi rumus JIT/EOQ ini berdasarkan fakta bahwa metode JIT mengurangi jumlah lot pengiriman dalam melaksanakan metode JIT dalam ruang lingkup besar metode EOQ (Dalam Sulistyowati, 182006).
Adapun hasil perbandingan biaya bahan baku yang dikendalikan dengan metode tradisional perusahaan dengan metode kombinasi JIT/EOQ menunjukkan jumlah biaya pengendalian bahan baku yang dapat dikurangi dengan metode kombinasi JIT/EOQ adalah sebesar 88,30 %. 
Hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa biaya pengendalian bahan baku dapat dikurangi 88,30% dengan metode kombinasi JIT/EOQ dibandingkan metode tradisional perusahaan.














Perkembangan teknologi dunia industri saat ini mengalami peningkatan yang cukup pesat, baik itu industri manufaktur maupun industri jasa. Hal ini menyebabkan persaingan semakin ketat sehingga para pelaku industri berlomba-lomba untuk menghasilkan produk yang dapat memuaskan  konsumen. Peningkatan daya saing merupakan suatu  keharusan agar industri mampu bersaing pada pasar khususnya pasar global. Penguasaan dalam penggunaan teknologi informasi juga turut mendukung suatu industri untuk memenangkan persaingan. Untuk perusahaan manufaktur, produk yang dihasilkannya  dituntut agar selalu dapat memuaskan konsumen dengan cara kualitas produk yang maksimal dan penyelesaian pesanan konsumen yang tepat pada waktunya. Hal ini dapat dicapai dengan  menjalankan  sistem  produksi yang seefektif dan seefisien mungkin. Oleh karena itu diperlukan suatu strategi perencanaan produksi yang baik.
Salah satu strategi perencanaan dalam industri manufaktur adalah perencanaan dan pengendalian  kebutuhan dan penyediaan material-material yang diperlukan dalam proses produksi. Hal ini berkaitan dengan kapan suatu material dibutuhkan, berapa jumlahnya, berapa jumlah persediaan yang ada (On Hand Inventory), kapan harus dilakukan pemesanan, kapan material harus datang, dan berapa safety stock material yang harus terjaga. Dimana perencanaan dan pengendalian tersebut bertujuan agar material selalu tersedia saat dibutuhkan dan sesuai dengan jumlah yang diperlukan sehingga proses produksi tidak mengalami keterlambatan dan pesanan konsumen dapat diselesaikan tepat waktu.
PT. Sampharindo Perdana adalah suatu  perusahaan yang bergerak di bidang industri farmasi dan terletak di Jalan Tambak Aji Timur I No 1 di kawasan  industri Guna Mekar Semarang. Produk yang dihasilkan lebih dari 50 jenis produk yang terdiri dari branded products dan generic products. Dengan jenis produk yang bervariasi tersebut perencanaan dan pengendalian material akan sedikit lebih rumit karena satu item  produk memiliki banyak komponen penyusunnya baik itu bahan baku berkhasiat, bahan baku tambahan, maupun bahan kemas. Perencanaan dan pengendalian material dilakukan oleh bagian Production Planning and Inventory Control (PPIC), dimana perencanaan kebutuhan material ini berdasarkan pada forecasting yang diberikan oleh bagian marketing. Selama ini bagian PPIC dalam melakukan perencanaan kebutuhan material tidak menggunakan metode-metode tertentu tetapi berdasarkan  perhitungan forecasting dari bagian  marketing dan kebijakan safety stock sebesar 50% yang telah ditentukan oleh perusahaan.
Masalah yang sering terjadi selama ini yaitu kekurangan persediaan bahan baku karena keterlambatan pemesanan ataupun kelebihan dan penumpukan material bahan baku karena kurangnya ketelitian dalam perencanaan dan pengendalian bahan baku. Hal ini dapat menyebabkan terhambatnya proses produksi dikarenakan kedatangan bahan baku yang terlambat rata-rata seminggu, terjadinya pembengkakan biaya, dan atau tingginya tingkat inventory. 
Untuk membantu  memecahkan permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan perencanaan dan pengendalian persediaan bahan baku dengan menggunakan metode Material Requirements Planning (MRP) dan perancangan sistem informasi yang cepat, tepat, dan akurat berbasis sistem informasi. Dengan menggunakan  metode tersebut diharapkan agar pemenuhan kebutuhan persediaan bahan baku dapat berjalan optimal, efektif, dan efisien. 
METODE PENELITIAN 
Pada bab ini penulis akan menjelaskan tahapan- tahapan atau proses berpikir dalam pemecahan masalah dengan tujuan agar penelitian yang penulis lakukan dalam penyusunan tugas akhir ini lebih terarah dan sistematis. Pelaksanaan penelitian dilakukan di PT. Sampharindo Perdana yang terletak di Jalan Tambak Aji Timur I No 1 di kawasan  industri Guna Mekar Semarang.. Penelitian dilakukan selama 1 bulan mulai dari tanggal 1 September 2015 sampai dengan 30 September 2015. Studi pendahuluan dilakukan dengan melihat kondisi objek pengamatan secara langsung dan melakukan wawancara dengan pihak perusahaan, dalam hal ini adalah staf dan karyawan terlibat langsung dalam pengamatan, kemudian dilakukan indentifikasi masalah. Setelah dilakukan pengamatan permasalahan yang diperoleh adalah adanya keterlambatan kedatangan bahan baku obat yang menghambat proses produksi dan disisi lain adanya tingkat inventory yang tinggi untuk beberapa bahan baku karena adanya kebijakan safety stock sebesar 50%. Hal ini dikarenakan dalam perencanaan kebutuhan material, bagian PPIC belum menggunakan metode-metode tertentu yang dapat meminimalkan keterlambatan bahan bahan baku dan biaya. 


Analisis MRP , terdiri dari :
1.             Penentuan Struktur Produk Coparcetin Kid Cough Syrup 60 ml Langkah pertama yang dilakukan dalam sistem MRP adalah menentukan struktur produk Coparcetin Kid Cough Syrup 60 ml. Pembuatan struktur produk nantinya akan digunakan sebagai dasar untuk membuat BOM (Bill of Materials). Pada penelitian ini, pembahasan ditekankan pada perencanaan kebutuhan bahan baku, yaitu perencanaan atas item-item yang berada pada level 2.
2.             Pembuatan bill of materials (bom) pembuatan bom didasarkan pada struktur produk yang telah dibuat pada langkah sebelumnya. Bom merupakan tabel penjabaran dari struktur produk, yang memberikan data sebagai berikut : level tiap komponen, jumlah kebutuhan tiap-tiap komponen, serta sumber komponen tersebut.  
3.             Master production schedules (mps) mps (master production schedules) mewakili sebuah rencana untuk pelaksanaan produksi.mps dibuat berdasarkan hasil forecasting dan pesanan konsumen. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data pada bulan november 2015 dan desember 2015 mengingat pada 2 bulan tersebut belum dilaksanakan proses produksi sehingga perlu dilakukan perencanaan bahan bakunya.    Untuk memudahkan perhitungan dan pelaksanaannya, maka dari mps bulanan tersebut akan dibagi menjadi mps mingguan atau harian (tergantung pemakaian).
4.                  Data Biaya Biaya yang diperlukan dalam perhitungan biaya total persediaan adalah sebagai berikut : A. Biaya Pemesanan : Rp 13.000 per pesan B.    Biaya Penyimpanan Besar biaya penyimpanan adalah dihitung berdasar persentase harga yang disimpan di gudang per bulannya. total biaya penyimpanan: 2 % dari harga produk per bulan. 
5.                  Penghitungan Jumlah Kebutuhan Bersih Dari data MPS mingguan yang juga merupakan kebutuhan kotor dapat diketahui kebutuhan bersih (net requirement) dengan mengurangi kebutuhan kotor (gross requirement) dengan persediaan yang dimiliki (on hand).

6.                  Penghitungan Lot Sizing Pada penelitian ini, penentuan jumlah dan waktu pembelian masing-masing bahan baku akan dihitung dengan menggunakan ketiga metode lot sizing yang dijadikan acuan, yaitu Lot for Lot, Part Period Balancing, dan Algoritma Wagner Within. Pemilihan metode yang akan diterapkan nantinya didasarkan pada metode yang menghasilkan jumlah biaya yang paling minimaldiantara ketiga metode yang digunakan. Penghitungan lot sizing tersebut dilakukandengan bantuan software POM for Windows.
7.             Pemilihan Metode Lot Sizing Setelah dihitung dengan menggunakan ketiga metode yang dijadikan acuan, maka langkah selanjutnya adalah membandingkan hasil dari ketiga metode tersebut.
Perbandingan hasil Lot Sizing antara ketiga metode tersebut menunjukkan bahwa metode yang menghasilkan biaya paling minimum adalah metode Lot for Lot. Oleh karena itu nantinya dalam penyusunan tabel MRP, jumlah lot untuk pembelian bahan baku akan digunakan hasil penghitungan dari metode Lot for Lot.
8.                  Penyusunan Tabel Materials Requirements Planning (MRP) Langkah terakhir dalam sistem MRP adalah pembuatan atau pengisian tabel MRP.Dengan melihat data pada tabel MRP nantinya kita dapat mengetahui berapa jumlah persediaan akhir tiap minggu, berapa jumlah pemesanan yang perlu dilakukan dan kapan pemesanan tersebut dilaksanakan. Selain itu dapat juga diketahui kapan barang yang kita pesan tersebut dapat diterima dan jumlah kebutuhan bahan baku untuk tiap minggu. Pengisian tabel MRP berdasarkan data persediaan bahan baku, jumlah kebutuhan bersih, lot sizing pembelian bahan baku, dan lead time pembelian bahan baku.
Analisis Sistem Informasi PPIC
1.     Analisis Sistem Lama
Menurut Jogiyanto (2005) analisis kelemahan sistem lama dapat ditinjau dari segi PIECES (Performance, Information, Economic, Control, Efficiency, Service).
2.        Analisis Kebutuhan Sistem 
Analisis kebutuhan sistem dibagi menjadi 2, yaitu kebutuhan fungsional dan kebutuhan non fungsional.
1)   Kebutuhan Fungsional
a.    Sistem berisi informasi mengenai manufacturing order, inventori bahan baku, BOM produk, supplier bahan baku, serta order pembelian bahan baku. 
b.    Sistem dapat melakukan proses perhitungan demand bahan baku dan proses perhitungan inventory yang melibatkan proses penggunaan dan penambahan bahan baku.
1)   Kebutuhan Non Fungsional 
a.    Sistem mudah digunakan karena didukung oleh desain antar muka yang mudah dipahami
b.    Sistem dapat menyimpan data-data yang mendukung pengendalian persediaandengan baik.
c.    Sistem dapat memunculkan informasi yang dibutuhkan dengan cepat  sehingga dapat mendukung pengambilan keputusan yang diperlukan.
2)   List Entity  Daftar entitas diperlukan untuk membuat sistem yang baru.
3)   Desain Data Flow Diagram (DFD) Pembuatan DFD menggambarkan bagaimana proses bisnis beroperasi, mengilustrasikan aktivitas-aktivitas yang dilakukan dan bagaimana data berpindah diantara aktivitas-aktivitas tersebut. 
1. Context Diagram
 Context Diagram adalah diagram pertama dalam  rangkaian suatu DFD yang menggambarkan entitas-entitas yang berhubungan dengan suatu sistem (Jogiyanto, 2005). Jadi context diagram ini menggambarkan hubungan antara input dan output serta antara sistem luaran.
2. DFD level 0  DFD level 0 membentuk semua aliran proses input dan output yang ada pada context diagram sebelumnya (Jogiyanto, 2005).  
4)      Implementasi Implementasi adalah tahapan pengaplikasian desain yang telah dirancang sebelumnya ke dalam software.Implementasi program bukan hanya memasukkan komponen yang ada ke dalam software, tetapi juga mengatur kesesuaian antara program dan rancangan yang telah dibuat. Berikut ini adalah beberapa tampilan sistem persediaan bahan baku yang telah dibuat.  
5)      Pengujian 
Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui apakah prototype yang dibuat telah sesuai dengan yang dinginkan atau tidak. Terdapat tiga pengujian yang dilakukan pada tahap ini, antara lain uji verifikasi, uji validasi dan uji prototype. 
a.    Verifikasi 
Proses verifikasi bertujuan untuk mengevaluasi apakah proses telah berjalan sesuai dengan rancangan yang telah dibuat. Berikut ini contoh proses verifikasi yang dilakukan
1.    Form
 Form dalam sistem basis data ini telah dilengkapi text box untuk menginput dan mengedit data. Form tersebut telah terhubung dengan benar pada tabel yang bersangkutan. 
2. Tombol
a.    Simpan  Melakukan penyimpanan serta melakukan proses perhitungan
b.    Tambah  Menambah baris baru untuk wadah mengisi data baru
c.    Keluar  Menutup form atau report yang sedang dibuka 
3.      Ketelitian hitung 
Proses perhitungan terjadi pada form stok bahan baku yang berkaitan dengan penambahan dan pengurangan stok bahan baku. Pada form tersebut perhitungan dilakukan ketika tombol simpan ditekan. Dalam pengujian ini, semua perhitungan telah dibandingkan dengan perhitungan manual dengan menggunakan alat hitung.
b.    Validasi 
Validasi bertujuan untuk menguji apakah sistem yang dibuat telah berjalan sesuai dengan fungsinya atau belum. Sistem informasi PPIC berfungsi untuk menyimpan data-data perencanaan produksi, persediaan bahan baku yang berguna untuk membantu bagian PPIC dalam mengambil keputusan yang terkait dengan persediaan bahan baku. Selain itu juga dapat membantu manajer menentukan apakah perlu memesan suatu bahan baku dilihat dari stok dan jumlah kebutuhan produksi.
c.    Uji Prototype 
Uji prototype ini dilakukan untuk mengetahui apakah prototype tersebut telah sesuai dengan kebutuhan pengguna.Uji prototype ini juga menjelaskan kelebihan sistem baru dibandingkan sistem lama.









Tabel  3.13 Perbandingan Sistem Lama dengan Sistem Baru
KESIMPULAN 
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa kepuasan konsumen merupakan faktor utama dalam memenangkan persaingan industri yang semakin ketat. Kepuasan konsumen dapat dicapai dengan beberapa cara diantaranya adalah produk yang berkualitas, harga yang kompetitif, dan tepatnya waktu pengiriman. Oleh karena itu, suatu perusahaan perlu memperhatikan tentang pengendalian dan perencanaan persediaan bahan baku untuk  menjaga kelancaran produksi dan meningkatkan kepuasan konsumen. Untuk dapat mengoptimalkan fungsi persediaan, perusahaan harus membuat perencanaan dalam pengadaan bahan baku. Perencanaan tersebut harus sesuai dengan kebutuhan produksi untuk setiap bulan.
1.    Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dengan menggunakan metode Lot for Lot, Part Period Balancing, dan  Algoritma Wagner Whitin, metode MRP yang mempunyai total biaya persediaan paling rendah yaitu Metode  Lot for Lot  untuk setiap bahan baku. Sehingga Metode  Lot  for Lot  yang lebih efektif dan efisien dipilih untuk diusulkan ke perusahaan dengan pemesanan dilakukan setiap  periode satu  minggu dimana setiap pesanan disesuaikan dengan kebutuhan tiap periode dengan memperhatikan lead time tiap-tiap bahan baku. Hasil penghitungan dengan metode Lot for Lot dapat dilihat di Lampiran B.
2.    Sistem informasi PPIC terkomputerisasi dapat menyajikan informasi yang relevancy, accuracy, timeliness, dan completeness.
3.    Perancangan sistem informasi PPIC yang baru diharapkan dapat membantu manajer dalam pengambilan keputusan terkait dengan perencanaan persediaan bahan baku yang lebih efektif dan efisien.
















BAB II
PENUTUP

A.      Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa :
1.    Material Management adalah suatu alat (manajemen) untuk mencapai tujuan pengelolaan material (bahan baku, bahan kemas, produk setengah jadi, & produk jadi) itu sendiri.
2.    Persediaan (inventory) memiliki arti sangat penting dalam operasi bisnis suatu perusahaan, guna untuk memenuhi kebutuhan produksi dan memberikan kepuasan pada kebutuhan organisasi (perusahaan).
3.    Tujuan diadakannya persediaan antara lain adalah: (1) untuk memberikan layanan terbaik pada pelanggan, (2) untuk memperlancar proses produksi, (3) untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya kekurangan persediaan (stockout), dan (4) untuk menghadapi fluktuasi harga. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka tentu saja akan menimbulkan konsekuensi bagi perusahaan, yaitu menanggung biaya atau resiko yang berkaitan dengan keputusan persediaan.
4.    Inventory (persediaan) adalah biaya. Terdapat lima kategori biaya yang dikaitkan dengan keputusan persediaan, yaitu :
a.       Biaya Pemesanan (order cost)
b.      Biaya Penyimpanan (carrying cost atau holding cost)
c.       Biaya Kekurangan Persediaan (stock out cost)
d.      Biaya yang dikaitkan dengan kapasitas
e.       Biaya barang atau bahan itu sendiri
5.    Tiga pendekatan dalam pemesanan bahan, yaitu : (1) pendekatan titik pemesanan kembali (re order point approach/ROP), (2) pendekatan tinjauan periodik (periodic review approach), dan (3) material requirement planning (MRP).


B.       Saran

Dibutuhkan banyak acuan guna memperkaya dan memperluas wawasan pengetahuan mengenai sistem pengembangan pemasaran mengingat pentingnya hal tersebut dalam kawasan Indonesia menyongsong Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).

DAFTAR PUSTAKA


Priyambodo,B. 2008. Manajemen Farmasi Industri. Global Pustaka Utama : Jakarta
Santosa, I.B.P.D., Prasetia, I.G.N.J.A., Dewantara, P.I.G.N.A. 2016. Perbandingan Jumlahbiaya Pengendalian Bahan Baku Antara
Metode Tradisional Perusahaan Dengan Kombinasi Jit/Eoq. Jurnal Farmasi Udayana. 5 (2). 35-38.
Solechah, RR., Yusianto, Rindra., Talitha, Tita. 2003. Perencanaan dan Pengendalian Persediaan Bahan Baku Obat Coparcetin Kid Cough Syrup dengan Menggunakan Metode Material Requirements Planning (MRP) Berbasis Sistem Informasi Pada PT. Sampharindo Perdana. Teknk Industri : Semarang
















Comments

Popular posts from this blog

Makalah Sediaan Steril "Salep Mata"

laporan praktikum FARFIS II "Sedimentasi Partikel Suspensi"

Laporan FARFIS II "Fenomena Distribusi"